K0nt0L Berurat (2) - Cerbung Pelangi



Kak Tuval menyodorkan sebuah kondom kepadaku.


"Mau lakuin?" tanyanya.


Tiba-tiba dadaku berdegub kencang.


-00-

Meski bekerja di tempat yang sama, ternyata kami sangat jarang bertemu. Kami di divisi yang berbeda, beda jabatan juga.


Ruang kerjaku dua lantai di atas ruang kerja kak Tuval. Sesekali saja, eh mungkin sering, aku memilih turun lewat tangga agar bisa lewat ruangan kak Tuval.


Dan hanya sekali berpapasan saat kak Tuval pas keluar dari ruangan.


"Fal... kenapa lewat sini? Kan bisa pake lift?" tanya kak Tuval.


"Oh.. enggak, sekalian olahraga aku lewat tangga aja," jawabku.


"Sampe bawah"


Aku menganggukkan kepala.


"Ya udah aku duluan ya."


Kak Tuval memencet tombol lift dan tak lama kemudian terbuka. Namun aku segera menyusulnya.


"Lha katanya lewat tangga?"


"Iya, cukup 4 tangga buat olahraga," jawabku ngeles.


Ruang kak Tuval ada di lantai 8, apa aku harus menuruni 16 anak tangga lagi?


"Langsung pulang kak?"


"Enggak. Ada janji nongkrong sama temen."


"Temen?"


"Ya. Oya, Fal. Kalau pas di ruang kerja, usahakan pakai bahasa formal ya. Meskipun kita udah kenal, tapi di lingkungan kerja tetap harus formal."


"Iy...iya... maaf."


Kak Tuval tersenyum dan menepuk pundakku. Aku hanya menunduk dan merasa tak tau diri karena berbincang informal dengan staf senior HRD.


"Pundakmu makin keras," pujinya.


Nafal

Aku menatap wajah kak Tuval yang tersenyum, senyumnya manis dan humble man, tak banyak berubah. Kami saling menatap, dan semuanya buyar saat ada karyawan lain masuk lift.


"Pak Tuval," sapa mereka sambil agak menunduk.


Aku menghela nafas dan lekas menyadari situasi ini berbeda dari 5 tahun silam. Aku tak bisa berbicara semaunya di lingkungan kerja.


Lift sampai di lantai 1 dan kami berhamburan keluar. Kenapa kak Tuval turun di lantai 1, bukan di basement?


Kami berlawanan arah namun dari kejauhan aku lihat kak Tuval berjalan menuju halte bus. Kami bahkan tak sempat saling mengucapkan salam. Hubungan kami terlihat formal.


  - 00-


Saat jam makan siang, aku lihat kak Tuval duduk sendirian, aku berniat menghampirinya namun Micko, teman kerjaku, lekas menjawilku.


"Kemana? Sini aja."


"Bentar aku ... oh iya iya."


Aku duduk di deret kursi tengah bersama micko, lalu seorang perempuan datang menghampiri kak Tuval. Mereka teman satu divisi.


Oya, aku sadar. Emang siapa aku bisa duduk sejajar dengan kak Tuval? Aku lupa ini lingkungan kerja.


  - 00-

Tuval

"Bentar tunggu..."


Aku setengah berlari saat lift akan menutup. Micko heran karena biasanya aku pulang lewat tangga.


"Tumben pake lift, biasanya pake tangga," responnya.


"Capek banget hari ini."


Lift turun dan di lantai 8 terbuka. Itu kak Tuval, kami berpapasan lagi, namun aku tak berani membuka obrolan. Micko terlihat canggung satu lift sama pejabat HRD.


Lift tiba di lantai 1 dan aku berjalan searah dengan kak Tuval.


"Mau kemana?" tanya kak Tuval.


"Halte, naik bus."


"Kos kamu dimana sih?"


Aku tak menjawab.


"Kok diam?"


Kalau aku menjawab. Pasti akan ditertawan karena jalurnya berlawanan dari bus di halte yang sedang kami tuju.


"Oh aku mau ke..."


"Mau mampir ke apartemenku?" tawar kak Tuval.


Aku terdiam.


"Mau gak?"


Lekas aku menganggukkan kepala.


Kami berjalan menuju halte dan naik bus bersama. Kak Tuval ternyata masih humble man seperti yang kukenal 5 tahun lalu.


  - 00-


Aku masuk ke kamar kak Tuval yang full black, mulai dari dinding, sprei, bantal, tirai dan beberapa perabotnya.


"Kakak tinggal sendiri?"


"Iya lah."


"Bf kakak?"


Tuval terdiam sejenak, lalu tersenyum getir. Namun dia tak menjawab.


Dia melemparkan sebotol minuman bersoda dari kulkas, lalu duduk di dekat jendela dengan view jalanan ibukota.


"Besok libur, nginep sini aja ntar," tawarnya lagi.


"Iy...iyyaaa. kalau kakak gak keberatan."


Kak Tuval mengalihkan pandangan ke arahku, tatapannya serius. Lalu dia mendekat.


"Mau sampe kapan tas itu kamu cangklong?"


Oia. Aku belum meletakkan tasku.


Kak Tuval duduk di sebelahku, dan tiba-tiba dia memelukku.


"Aku kangen kamu Fal," bisiknya.


Aku tak berkutik, tapi membiarkan kedua tangan kak Tuval melingkar di badanku.


"A...aku juga," balasku.


Kami pun saling tersenyum, dan entah apa yang kurasakan malam ini, aku sangat bahagia.


Lanjut baca KLIK DISINI

Posting Komentar

0 Komentar