Kisah Luka


Janji yang Terlupakan
 
Aku ingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Di sebuah kafe kecil, dengan aroma kopi yang menusuk hidung dan alunan musik jazz yang lembut, kami terjebak dalam percakapan yang tak terduga. Senyumnya yang hangat, matanya yang berbinar, dan caranya berbicara yang penuh semangat membuatku terpesona. Sejak saat itu, kami tak terpisahkan.
 
"Aku janji, aku akan selalu ada untukmu, dalam suka dan duka," katanya, tangannya menggenggam tanganku erat.
 
Janji itu, seperti embun pagi yang menyegarkan, membasahi hatiku. Aku percaya padanya, percaya pada setiap kata yang keluar dari bibirnya. Aku mencintainya dengan sepenuh hati, tanpa syarat, tanpa keraguan. Aku rela memberikan segalanya untuknya, termasuk seluruh hidupku.
 
Kami melewati masa-masa indah bersama. Berjalan-jalan di taman, menonton film di bioskop, bercanda di tengah hujan, dan berbagi mimpi di bawah langit malam. Setiap momen terasa istimewa, setiap detik terukir indah dalam ingatan.
 
Namun, seperti halnya musim yang berganti, hubungan kami pun mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih tertutup. Tatapan matanya yang dulu berbinar kini redup, senyumnya yang hangat berubah menjadi dingin. Aku mencoba bertanya, mencoba memahami, tapi dia selalu menjawab dengan kalimat yang sama, "Aku baik-baik saja."
 
"Kenapa kamu berubah?" tanyaku, suaraku bergetar menahan kesedihan.
 
"Aku tidak berubah, sayang. Hanya saja, aku lelah," jawabnya, matanya menatap kosong ke arah jendela.
 
Aku tak percaya. Aku tahu, ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku terus mencari tahu, mencari jawaban atas perubahan sikapnya. Sampai akhirnya, aku menemukannya. Sebuah pesan di ponselnya, pesan dari seorang wanita lain.
 
"Aku mencintaimu," tulis wanita itu.
 
"Aku juga mencintaimu," jawabnya.
 
Hatiku hancur berkeping-keping. Janji yang pernah diucapkannya, janji yang terukir indah di hatiku, kini hancur berkeping-keping seperti kaca yang jatuh ke lantai.
 
"Kenapa?" tanyaku, suaraku tertahan, air mata mengalir deras di pipiku.
 
"Maaf, sayang. Aku tak bisa menahannya lagi," jawabnya, suaranya terdengar dingin dan tak bersemangat.
 
Aku terdiam, tak mampu berkata-kata. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong, merasakan sakit yang menusuk-nusuk di hatiku.
 
"Aku masih mencintaimu," katanya, tangannya meraih tanganku.
 
"Tapi, kamu sudah berjanji," kataku, suaraku bergetar menahan amarah.
 
"Maaf," katanya, suaranya terdengar lirih.
 
Aku menarik tanganku, menjauh darinya. Aku tak bisa memaafkannya. Aku tak bisa melupakan rasa sakit yang dia berikan.
 
"Aku tak ingin melihatmu lagi," kataku, lalu berbalik dan pergi, meninggalkan dia yang terdiam di sana.
 
Aku berjalan dengan langkah gontai, air mata terus mengalir deras di pipiku. Aku mencoba untuk kuat, mencoba untuk melupakan rasa sakit yang menghancurkan hatiku.
 
Aku tahu, aku harus move on. Aku harus membuka lembaran baru dalam hidupku. Tapi, aku tak bisa melupakan janji yang terlupakan, janji yang terhianati.
 
Aku berharap, suatu saat nanti, aku bisa menemukan cinta yang tulus, cinta yang tak terhianati, cinta yang mampu mengobati luka di hatiku.
 
Aku masih percaya pada cinta, meskipun cinta itu pernah mengecewakanku.
 
Dan, aku berharap, kisahku ini bisa menjadi pelajaran bagi semua orang, agar tak mudah terlena oleh janji-janji manis yang tak diiringi dengan kesetiaan.
 
Karena, kesetiaan adalah pondasi sebuah hubungan yang kuat, pondasi yang tak boleh tergoyahkan oleh apapun.

Posting Komentar

0 Komentar