Suamiku Lebih Mencintai Pria Lain



Keluarga kami masih melestarikan tradisi perjodohan, warisan leluhur yang kami junjung tinggi. Tak terkecuali aku, yang tak luput dari takdir yang telah digariskan.

 

Kusuma, begitulah nama calon suamiku. Seorang pria tampan dengan tubuh tegap dan aura gagah yang memikat. 


Sejak pertama kali bertemu, hatiku berdesir. Mana mungkin aku menolak perjodohan ini? Kusuma bagaikan mimpi yang menjadi nyata. Perkenalan kami singkat, hanya sebatas formalitas sebelum pernikahan.

 

Hari pernikahan tiba, sebuah pesta meriah yang dipenuhi tawa dan tangis haru. Aku, dengan gaun putih nan anggun, berdiri di pelaminan, menatap Kusuma yang tak kalah gagah dalam balutan jas hitam. 


Senyum terukir di wajahnya, namun ada seulas keraguan yang terpancar dari matanya.

 

Malam pertama, kami berdua terbaring di ranjang pengantin. Suasana hening, hanya diiringi detak jantung kami yang berpacu kencang. 


Aku mendekat, tangan gemetar menyentuh pipinya yang lembut.

 

"Kusuma," bisikku lembut, "Aku bahagia bisa menjadi istrimu."

 

Kusuma menatapku, matanya berkaca-kaca. "Aku belum siap," ucapnya lirih.

 

Hatiku langsung terpuruk. Aku kesal dengan jawaban itu. Padahal, aku sudah mendambakannya. 


Aku ingin merasakan sentuhannya, ingin melihat seluruh lekuk tubuhnya, ingin dipeluk dan berebah manja di dadanya.


Vaginaku sudah berdenyut, setengah basah, siap melahap batang nikmat berurat itu.

 

"Apa maksudmu?" tanyaku, suaraku bergetar menahan emosi.

 

"Aku... aku masih butuh waktu," jawabnya, matanya menunduk.

 

Aku terdiam, amarah dan kekecewaan bercampur aduk dalam dada. Apa dia tak terlalu tertarik padaku? Apa dia menerima perjodohan ini sebatas menyenangkan keluarga?

 

Seminggu berlalu, kami masih terjebak dalam keheningan. Kusuma bersikap dingin, menjaga jarak, seakan-akan aku bukan istrinya. 


Setiap malam, aku tertidur dengan perasaan hampa, rindu akan sentuhannya yang tak kunjung datang.

 

Suatu sore, aku memutuskan untuk berbicara dengannya. "Kusuma, aku ingin kita bicara," kataku, suaraku terdengar lemah.

 

Kusuma menoleh, matanya masih menyimpan keraguan. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"

 

"Tentang kita," jawabku, "Tentang pernikahan ini."

 

Kusuma menghela napas, "Aku tahu, aku bersikap aneh. Tapi aku sungguh belum siap untuk semua ini."

 

"Kenapa?" tanyaku, "Apa kamu tidak mencintaiku?"

 

"Bukan begitu," jawabnya.


"Aku takut pada perjodohan ini. Aku takut kita tak bahagia. Aku takut pernikahan ini hanya akan menjadi beban bagi kita berdua,” lanjutnya.

 

Aku terdiam, baru kali ini Kusuma mengungkapkan isi hatinya. Aku mengerti rasa takutnya, rasa takut yang sama yang pernah kurasakan saat pertama kali mendengar tentang perjodohan ini.

 

"Kusuma," kataku, "Aku juga takut. Aku takut kita tak bahagia. Tapi aku percaya, kita bisa membangun kebahagiaan bersama. Kita bisa saling mencintai, saling memahami, dan saling mendukung."

 

Kusuma menatapku, matanya berkaca-kaca. "Aku harap begitu," ucapnya lirih.

 

Malam itu, Kusuma mencoba memelukku erat. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sentuhannya yang hangat, yang penuh kasih sayang. 


Di pelukannya, aku merasa aman, merasa dicintai. Aku bimbing dia melepas kaosnya, kali ini aku benar-benar ingin merasakan persetubuhan sah ini.


Dia terlihat canggung, kukira wajar karena ini baru pertama. Kulihat tubuhnya yang mulus, dan enak dilihat. Vaginaku berdenyut.


“Ayo,” ajakku sambil berusaha menarik celana jogernya.


Namun Kusuma menahan tanganku, dan menggelengkan kepala.


“Kenapa sih?” kesalku.


Dia mengambil kaosnya lagi dan memakainya.


“Aku belum siap.”


Aku sangat kesal dengan jawaban itu, lalu pergi meninggalkankannya. Pernikahan macam apa ini, sejak menikah aku belum pernah melihat kontol suamiku sendiri.


Padahal harusnya aku telah memilikinya, menyepongnya setiap malam, memasukkannya ke vaginaku dan aku bebas bergoyang manja hingga basah kuyup.


Tapi itu tidak terjadi, hingga detik ini.


-00-


Dari teman kerjanya, aku baru tau kalau Kusuma dekat dengan seorang bernama Rubi.


Dialah temannya setelah pulang kerja, dan kembali ke rumah telat banget.


Rubi adalah temannya sejak kuliah, aku mengiriminya pesan dan berharap agar tidak lagi mau menemani suamiku agar langsung pulang ke rumah.


“Tolong pahami keluarga kami,” tulisku memohon.


“Tapi Uma yang ngajak,” balasnya.


“Kamu tolak!” pintaku.


-00-


Hari ini, suamiku pulang lebih awal, namun raut mukanya merah padam.


“Buat apa kamu hubungi Rubi?”


“Biar kamu lebih punya waktu sama istri,” jawabku.


“Dia udah ada dulu sebelum kamu.”


“Maksudnya?”


“Kamu nyadar gak sih kalau pernikahan kita cuma formalitas.”


“Ha? Gak bisa gitu dong.”


“Jangan ganggu Rubi!”


Aku tertegun. Kenapa dia yang sejak pernikahan awal terlihat kalem, kini begitu emosional? Siapa Rubi sebenarnya? Bukankah dia cowok?


By Aira

Posting Komentar

0 Komentar