Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Jika Ayahmu Tahu?





Hubungan Samu dan Ale semakin erat. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, mulai dari mencari tempat makan baru hingga menonton film di bioskop. 


Tawa mereka sering memenuhi suasana, dan bagi Ale, Samu adalah sosok yang membuatnya merasa bebas dan diterima sepenuhnya. Namun, perubahan itu tidak luput dari perhatian Ayah Ale.


Ale yang biasanya pendiam kini sering pulang larut dengan senyum lebar, dan Ayahnya mulai curiga. 


Suatu malam, saat Ale baru saja pulang setelah menghabiskan waktu bersama Samu, Ayahnya menunggu di ruang tamu.


“Ale, kita perlu bicara,” suara Ayahnya terdengar tegas.


Ale menghentikan langkahnya, sedikit terkejut. “Ada apa, Yah?” tanyanya sambil duduk di kursi yang berseberangan dengan ayahnya.


“Akhir-akhir ini kamu berubah,” kata Ayahnya. “Kamu sering keluar, jarang ada di rumah, dan sepertinya semua itu karena temanmu yang bernama Samu.”


Ale mengerutkan kening. “Apa salahnya, Yah? Samu itu teman baik. Dia nggak ngelakuin apa-apa yang buruk.”


Ayahnya menggeleng. “Kamu terlalu dekat dengannya. Aku nggak tahu apa pengaruhnya buat kamu, tapi aku nggak suka perubahan ini. Kamu kelihatan terlalu bebas, terlalu jauh dari aturan rumah.”


Kata-kata itu menusuk Ale. Ia mencoba menahan emosinya, tapi tidak bisa.


“Samu nggak ngasih pengaruh buruk, Yah. Justru dia yang bikin aku belajar banyak hal. Aku jadi lebih percaya diri, lebih berani buat ngomong apa yang aku rasain. Kenapa Ayah nggak bisa lihat itu?” suaranya mulai meninggi.


“Karena dia bukan teman yang baik untukmu,” jawab Ayahnya dengan nada yang tak kalah tegas. “Aku hanya ingin kamu fokus pada hal-hal yang penting, bukan sibuk dengan teman yang mungkin akan membawa kamu ke arah yang salah.”


Ale bangkit dari kursinya. “Ayah nggak tahu apa-apa tentang Samu! Ayah cuma lihat dia dari luar tanpa tahu siapa dia sebenarnya. Dia nggak pernah ngelakuin hal buruk ke aku. Kalau Ayah nggak bisa nerima itu, aku nggak tahu harus gimana lagi.”


Ayahnya terdiam sesaat, namun wajahnya menunjukkan kekecewaan. 


“Ale, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Kalau kamu terus begini, hubungan kita bisa jadi semakin sulit.”


Ale menggigit bibirnya, menahan air mata. “Aku sayang sama Ayah, tapi aku juga berhak milih siapa yang aku anggap penting dalam hidupku. Dan Samu adalah salah satunya.”


Ayahnya terkejut mendengar jawaban Ale.


Ale berjalan menuju kamarnya, meninggalkan ayahnya yang termenung di ruang tamu. 


Malam itu, Ale merenung lama. Ia tahu hubungannya dengan Samu tidak salah, tetapi ia juga tidak ingin terus-menerus bertentangan dengan ayahnya.


Keesokan harinya, Ale menceritakan semuanya kepada Samu. Samu mendengarkan dengan tenang, lalu berkata, 


“Kalau memang aku jadi alasan konflikmu sama Ayah, aku nggak mau jadi penghalang, Ale. Aku rela mundur kalau itu bisa bikin hubunganmu sama Ayah membaik.”


Ale menggeleng kuat. “Bukan itu solusinya, Samu. Aku cuma perlu bikin Ayah ngerti kalau kamu bukan pengaruh buruk. Aku nggak mau kehilangan kamu, dan aku juga nggak mau hubungan sama Ayah jadi hancur. Aku akan cari cara.”


Hari-hari berikutnya, Ale mencoba memperbaiki hubungannya dengan ayahnya. Ia lebih sering meluangkan waktu di rumah, menunjukkan bahwa meskipun ia dekat dengan Samu, ia tetap anak yang bertanggung jawab. Perlahan, Ayahnya mulai melunak. 


Ia bahkan setuju untuk bertemu Samu suatu hari nanti, demi memahami orang yang begitu penting bagi anaknya.


Bagi Ale, perjalanan itu tidak mudah, tetapi ia tahu hubungan yang ia miliki dengan Samu layak diperjuangkan. 


Dan pada akhirnya, ia berharap semua ini akan membawa mereka ke titik di mana semua pihak bisa saling menerima.



Posting Komentar untuk "Bagaimana Jika Ayahmu Tahu?"