Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cinta di Atas Rumput | Cerita Pelangi


Di Antara Rumput Hijau dan Bayang-Bayang

Mario berdiri di tengah lapangan sepak bola yang luas, rumput hijau terasa lembut di bawah kakinya. 

Angin pagi yang dingin dari Pegunungan Alpen menyapu wajahnya, sementara suara peluit pelatih menggema di udara. 

Di tempat inilah ia menemukan mimpi masa kecilnya: menjadi seorang bintang sepak bola. 

Namun, di tempat yang sama pula, ia menemukan konflik yang merobek hatinya.

Di sisi lain lapangan, Leon berlari dengan langkah penuh percaya diri. 

Rambut hitamnya berkilau di bawah sinar matahari Swiss yang terik. 

Leon baru bergabung dengan tim mereka beberapa minggu lalu, seorang pemain muda berbakat dari Jerman yang langsung menarik perhatian banyak orang, termasuk Mario.

Awalnya, Mario hanya melihat Leon sebagai rekan setim. Tapi malam-malam panjang di asrama pemain mengubah segalanya. 

Mereka sering berbincang hingga larut malam, membahas mimpi-mimpi, ketakutan, dan kenangan masa kecil. 

Senyuman Leon yang tulus membuat Mario merasa nyaman, lebih dari yang pernah dirasakan sebelumnya.

-00-

Malam itu, mereka duduk di tepi jendela kamar asrama. 

Di luar, gunung-gunung yang menjulang tinggi tampak seperti bayangan kelabu di bawah bulan purnama. 

Mario melirik Leon yang duduk di sebelahnya.

"Kamu pernah merasa seperti tidak benar-benar tahu apa yang kamu inginkan?" tanya Mario, suaranya pelan, hampir berbisik.

Leon tersenyum kecil, menatap ke luar jendela. 

"Setiap hari. Tapi kadang-kadang, kita harus mengejar sesuatu yang membuat kita bahagia, meski dunia tidak menyukainya."

Kalimat itu menggema di pikiran Mario selama berhari-hari. Hubungan mereka berkembang dengan cepat, berubah dari persahabatan menjadi sesuatu yang lebih intim. 

Mario menemukan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan, tetapi kebahagiaan itu datang bersama ketakutan yang terus menghantui.

-00-

Suatu pagi, rumor mulai menyebar. Rekan-rekan setim mulai berbisik ketika mereka melihat Mario dan Leon berbicara. 

Pelatih memanggil Mario ke kantornya.

"Aku dengar sesuatu yang aneh tentangmu dan Leon," kata pelatih dengan nada tegas. 

"Apapun itu, hentikan sekarang. Fokus pada kariermu. Ini adalah kesempatanmu untuk masuk ke liga utama, Mario."

Mario merasa tenggorokannya kering. Ia hanya mengangguk, meski dadanya terasa seperti dihantam ribuan beban.

Leon, di sisi lain, mulai merasa tertekan. 

"Kenapa kita harus sembunyi, Mario?" tanyanya suatu malam. 

"Aku tidak bisa terus hidup seperti ini."

Mario menggenggam tangan Leon, tapi ia tidak tahu harus berkata apa. 

Cinta mereka yang indah menjadi beban, sesuatu yang harus disembunyikan di balik pintu tertutup.

-00-

Semakin banyak tekanan datang. Agen Mario memperingatkannya tentang risiko jika rumor itu menjadi kenyataan. 

"Kamu bisa kehilangan segalanya," kata agen itu dengan tegas. 

"Tidak ada tempat untuk pemain seperti itu di sepak bola profesional."

Mario merasa hancur. Ia mencintai Leon, tetapi ia juga mencintai sepak bola. 

Leon, merasa bahwa Mario tidak bisa mengambil sikap, akhirnya memutuskan untuk pergi. 

"Aku tidak bisa terus bertahan dalam bayangan," katanya. 

"Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai diriku sendiri."

Leon meninggalkan tim, dan Mario dibiarkan sendirian di asrama yang sekarang terasa kosong. 

Ia terus bermain sepak bola, mencetak gol demi gol, tetapi setiap kali ia berdiri di lapangan, ada kekosongan di hatinya yang tidak bisa diisi.

-00-

Di malam yang sunyi, Mario duduk di kamar asrama, menatap jendela yang dulu menjadi saksi percakapannya dengan Leon. 

Gunung-gunung di kejauhan tetap kokoh, tidak peduli apa yang terjadi di bawahnya. Ia meraih ponselnya, membuka pesan terakhir dari Leon.

"Aku harap suatu hari kamu menemukan keberanian untuk menjadi dirimu sendiri."

Mario menutup mata, membiarkan air mata mengalir. 

Di tengah sorakan penonton, piala-piala emas, dan sorotan lampu stadion, ia tahu satu hal: tidak semua kemenangan terasa seperti kemenangan.

Posting Komentar untuk "Cinta di Atas Rumput | Cerita Pelangi"