Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Antara Nada dan Hati | Kisah Mew dan Tong



Malam di Bangkok begitu tenang, namun di studio kecil yang dipenuhi gitar dan lembaran kertas musik, Mew memetik senar gitarnya perlahan. 

Suaranya mengalun lembut, menyatu dengan nada-nada yang ia ciptakan sendiri. Namun pikirannya melayang jauh, ke masa kecil yang penuh kenangan bersama Tong.

Pintu studio terbuka perlahan, dan suara langkah yang Mew kenal baik menghentikan alunan gitarnya. 

Ia mendongak. Tong berdiri di sana, senyum khasnya tetap sama seperti dulu, meski ada bayangan kesedihan di matanya.

“Kamu masih suka bermain gitar,” kata Tong, suaranya seperti bisikan di tengah keheningan.

Mew tersenyum kecil. “Dan kamu masih suka masuk tanpa mengetuk pintu.”

Keduanya tertawa pelan, seolah tahun-tahun yang memisahkan mereka tak pernah ada. 

Tong mendekat, duduk di kursi di sebelah Mew. Ada jarak kecil di antara mereka, tetapi kehadiran Tong terasa memenuhi seluruh ruangan.
---

Beberapa minggu setelah mereka bertemu kembali, Tong mulai sering datang ke studio. 

Mereka berbagi cerita, tertawa, bahkan diam dalam keheningan yang nyaman. Tetapi di balik semua itu, ada perasaan yang tak terucap.

Suatu malam, setelah sesi latihan band Mew selesai, Tong tetap tinggal. 

Ruangan kosong, hanya ada mereka berdua. Tong memandangi boneka hidung merah di meja Mew, boneka yang ia beri pada Mew bertahun-tahun lalu.

“Kamu masih menyimpannya?” tanya Tong, memegang boneka itu dengan hati-hati.

“Tentu saja,” jawab Mew. “Itu mengingatkan aku pada masa kecil kita... dan kamu.”

Tong menunduk, menggenggam boneka itu lebih erat. 

“Aku juga selalu ingat kamu, Mew. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu apa yang benar.”

---

Tong mulai bercerita tentang keluarganya, tentang ibunya yang masih terpukul karena kehilangan kakaknya, Tang. 

Tentang bagaimana ia selalu merasa harus menjadi anak yang sempurna untuk menggantikan peran Tang dalam keluarga.

“Aku tidak bisa mengecewakan mereka, Mew,” kata Tong, matanya berkaca-kaca. 

“Aku tidak tahu apakah aku punya tempat untuk diriku sendiri.”

Mew menatapnya, hatinya berdebar kencang. Ia tahu Tong berjuang melawan dirinya sendiri, tetapi ia juga tahu cinta mereka terlalu besar untuk diabaikan.

“Kamu tidak harus memilih antara mereka dan dirimu sendiri, Tong,” kata Mew, suaranya lembut namun tegas. 

“Tapi jika kamu memilih, pastikan itu membuatmu bahagia.”


---

Di malam lain, saat mereka berjalan bersama di taman, Tong tiba-tiba berhenti. Ia menatap Mew, matanya penuh emosi yang tak tertahan.

“Aku mencintaimu, Mew,” katanya akhirnya. Kata-kata itu sederhana, tetapi membawa seluruh dunia Mew menjadi hening dan penuh sekaligus.

Mew tersenyum, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, Tong.”

Mereka berciuman mesra, Mew tak bisa menutupi kekagumannya pada Tong yang tampan dan berbadan atletis itu.

---

Namun cinta mereka tidak selalu berarti kebersamaan. Tong tahu ia belum siap untuk menghadapi keluarganya dan dunia yang mungkin tidak akan menerima mereka. 

Dan Mew mengerti. Ia tidak pernah menuntut lebih dari apa yang bisa Tong berikan.

Di malam terakhir mereka bertemu sebelum Tong pergi bersama keluarganya untuk waktu yang tidak ditentukan, Mew memberikan lagu baru yang ia tulis. 

Lagu itu adalah ungkapan hati, harapan, dan cinta yang ia tahu akan tetap ada, meski mereka terpisah.

Tong mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, dan saat lagu selesai, ia berdiri dan memeluk Mew erat-erat.

“Terima kasih,” bisik Tong. “Untuk semuanya.”

---

Saat Tong pergi, studio itu terasa kosong lagi. Tetapi Mew tahu cinta mereka tidak pernah benar-benar berakhir. 

Boneka hidung merah tetap ada di meja, dan lagu itu menjadi saksi bahwa di antara nada dan hati, cinta mereka akan selalu hidup.

Posting Komentar untuk "Di Antara Nada dan Hati | Kisah Mew dan Tong"