Fajar di Tagaytay | Cerita Pelangi
Angin malam yang dingin menyelinap melalui celah-celah jendela rumah peristirahatan di Tagaytay.
William duduk di kursi kayu di teras, menatap hampa ke arah danau Taal yang tertutup kabut.
JP tiba dengan langkah ragu, membawa sebotol anggur yang ia beli di perjalanan.
Malam itu adalah pertemuan mereka setelah dua bulan penuh keheningan.
“Anggur?” JP mencoba mencairkan suasana.
William tersenyum kecil, menerima gelas yang diisi JP.
“Kenapa kau tetap datang?” tanya William, suaranya berat.
JP mengangkat bahu, mencoba menghindari tatapan tajam pria yang duduk di hadapannya.
“Mungkin aku ingin mendengar langsung darimu,” katanya akhirnya.
William menghela napas panjang.
“Aku akan ke Australia bulan depan,” ujarnya tanpa basa-basi. JP terdiam. Kata-kata itu seperti pukulan yang membuat dadanya sesak.
“Meninggalkan semuanya?” JP bertanya dengan nada pahit.
“Ini bukan keputusan yang mudah,” jawab William, menatap gelas anggurnya.
“Aku punya keluarga yang perlu kujaga, tanggung jawab yang harus kupenuhi.”
JP tertawa pendek, getir. “Lalu aku? Apakah aku bagian dari keputusan itu?”
William tak menjawab. Keheningan mereka terasa menusuk, hanya diiringi suara angin dan dedaunan yang berbisik.
JP berdiri, berjalan ke pinggir teras, menatap kegelapan di kejauhan.
“Kau selalu mencari alasan untuk pergi, William. Tapi aku… aku tetap di sini, menunggumu kembali,” ucap JP, suaranya bergetar.
William mendekat, berdiri di samping JP.
“Aku mencintaimu, JP. Tapi aku juga mencintai keluargaku. Apa yang kita miliki indah, tapi tidak bisa bertahan di dunia nyata.”
JP menoleh, matanya berkaca-kaca.
“Kau tahu? Aku tidak butuh dunia nyata. Aku hanya butuh kita.”
Mereka berdiri dalam jarak yang memisahkan, seperti jurang yang tak terjembatani.
Malam itu, mereka berbicara panjang tentang masa lalu, kenangan, dan cinta yang mereka simpan dalam ruang-ruang tersembunyi di hati mereka.
Mereka mendekat, saling menatap, pagutan mesra terjalin antara bibir mereka.
JP melepas kemeja William, tubuh mereka saling bersentuhan, tanpa jarak.
Pelukan hangat, desahan mesra, menjadi tanda perpisahan.
"Boleh aku masukin ke dalam?" pinta William.
JP mengangguk. Anggap itu sebagai kenangan terakhir, William melepaskan cairan putihnya ke dalam tubuh JP.
Badan mereka bergetar, tubuh menghangat perlahan, suatu kenikmatan yang harus mereka akhiri.
Tawa dan tangis bercampur menjadi satu, mengisi rumah yang sepi.
Saat fajar mulai menyingsing, William mengepak barang-barangnya. JP hanya duduk di sofa, memandang tanpa kata-kata.
“Aku harap kau menemukan kebahagiaanmu,” ucap William sebelum melangkah keluar pintu.
JP mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. Ia tahu, cinta mereka adalah cerita yang hanya hidup dalam kegelapan malam.
Saat cahaya pagi datang, cerita itu harus berakhir.
William pergi, meninggalkan JP di rumah peristirahatan itu. Matahari pagi perlahan menghangatkan ruang yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
JP berjalan ke teras, menatap ke arah danau Taal yang kini disinari matahari. Di dalam kesendirian itu, ia memahami bahwa cinta tak selalu berarti memiliki.
Namun, di hatinya, kenangan tentang malam itu akan selalu hidup, seperti bintang-bintang yang tetap bersinar di langit meskipun fajar telah datang.
Posting Komentar untuk "Fajar di Tagaytay | Cerita Pelangi"