Perpisahan Sekolah
Ayah Ale merasa lega melihat perubahan anaknya. Ale kembali menjadi putra kebanggaannya yang disiplin dan bertanggung jawab.
Tidak ada lagi pulang larut malam atau bolos les, dan nilai-nilainya kembali stabil.
Bagi sang ayah, ini adalah kemenangan yang diam-diam ia syukuri.
Namun, bagi Ale, semuanya tidak seindah yang terlihat. Sejak hubungannya dengan Samu merenggang, ia merasa ada sesuatu yang hilang.
Ia menjalani rutinitasnya seperti biasa, tetapi di sudut hatinya, ia merindukan kebersamaan mereka.
Meski begitu, Ale mencoba berdamai dengan keadaan. Ia menganggap perkenalannya dengan Samu sebagai bonus dalam hidupnya, sesuatu yang mungkin tidak akan ia miliki lagi.
Ale kembali melampiaskan hasratnya dengan dildo yang ia beli secara online. Itu sudah sering ia lakukan.
Makanya, saat kontol Samu mengoyaknya ia sudah terbiasa, lagipula kontol Samu tak sebesar dildo miliknya.
“Tapi lebih enak kontol samu, apalagi sambil dipeluk dan keringetan bareng,” kenangnya sambil bergoyang naik turun menikmati dildonya hingga cairan putih dari penisnya tercecer.
-00-
Hari-hari berlalu, dan waktu kelulusan sekolah semakin dekat. Kesibukan menjelang ujian akhir membuat Ale semakin sibuk, dan begitu pula Samu.
Perbedaan jurusan mereka juga mengurangi intensitas pertemuan. Sesekali mereka masih berpapasan di koridor sekolah, tetapi hanya saling menyapa singkat.
Tidak ada lagi percakapan panjang seperti dulu, tidak ada lagi tawa yang mereka bagi bersama.
Ale mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah hal yang wajar. Orang-orang datang dan pergi dalam hidup, pikirnya.
Namun, setiap kali ia melihat Samu dari kejauhan, ada dorongan dalam dirinya untuk mendekat, untuk berbicara seperti dulu.
Tetapi, ia selalu mengurungkan niatnya. Ia takut, bukan pada Samu, tetapi pada apa yang mungkin terjadi jika mereka kembali terlalu dekat.
Samu, di sisi lain, juga merasakan kekosongan. Ia sering teringat pada hari-hari mereka bersama, tetapi tekanan dari Ayah Ale masih menghantui pikirannya.
Ia tidak ingin kembali menyakiti Ale atau memperumit hubungan Ale dengan keluarganya. Jadi, ia memilih untuk menjaga jarak, meski itu membuat hatinya terasa berat.
Menjelang kelulusan, sekolah mengadakan acara perpisahan. Semua siswa berkumpul di aula besar untuk mendengarkan pidato, pertunjukan, dan pemberian penghargaan.
Ale dan Samu duduk di sisi yang berbeda, tetapi sesekali mata mereka saling bertemu. Ada sesuatu dalam tatapan itu, sebuah kenangan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Setelah acara selesai, para siswa mulai bersiap-siap untuk pulang. Ale berdiri di dekat pintu aula, berbicara dengan beberapa temannya, ketika ia melihat Samu berjalan mendekat. Hatinya berdegup kencang.
Samu berhenti beberapa langkah darinya, lalu tersenyum kecil.
“Hai, Ale,” sapanya pelan.
“Hai, Samu,” jawab Ale, mencoba terdengar santai meski dadanya terasa sesak.
Mereka berdiri dalam keheningan selama beberapa detik sebelum Samu akhirnya berkata, “Aku cuma mau bilang selamat atas kelulusanmu. Aku tahu kamu pasti bakal melakukan hal-hal hebat ke depannya.”
Ale tersenyum, meski matanya sedikit berkaca-kaca. “Kamu juga, Samu. Aku senang pernah kenal kamu. Kamu banyak mengajarkan aku tentang… jadi diri sendiri.”
Samu mengangguk, lalu mengulurkan tangan. Ale menyambutnya, dan mereka berjabat tangan mungkin untuk terakhir kalinya, setidaknya itulah yang mereka pikirkan saat itu.
Ketika Samu pergi, Ale menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Ia tahu perjalanan hidup mereka akan membawa mereka ke arah yang berbeda. Tetapi, di dalam hatinya, ia merasa pertemuan mereka, meski singkat, telah meninggalkan jejak yang tidak akan pernah hilang.
Posting Komentar untuk "Perpisahan Sekolah"