Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Setubuhi Aku Lagi, Samu



Ale berdiri ragu di depan pintu rumah Samu. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. 


Dengan satu ketukan pelan, pintu kayu itu terbuka, memperlihatkan wajah Samu yang terkejut. Mata mereka bertemu, dan sejenak keheningan menyelimuti suasana.


“Ale? Kamu... kenapa di sini?” tanya Samu, suaranya serak.


Ale tersenyum kecil. “Aku harus bicara sama kamu, Sam. Ini penting.”


Tanpa banyak kata, Samu mempersilakannya masuk. Ale melangkah masuk ke rumah yang sudah tak asing baginya. 


Aroma khas kayu dan buku-buku lama masih sama seperti dulu, membawa kenangan yang bertumpuk di benaknya. 


Mereka berjalan menuju kamar Samu, ruangan yang selama ini menjadi tempat mereka berbagi cerita, mimpi, dan rahasia.


Kamar itu masih sama berantakannya. Buku-buku berserakan di lantai, pakaian tergantung di kursi, dan gitar tua tergeletak di sudut ruangan. 


Tapi Ale sudah terbiasa. Dia duduk di tempat tidur, merapikan sedikit ruang di sisinya, sementara Samu mengambil kursi dekat meja belajarnya.


“Jadi, apa yang penting sampai kamu datang ke sini?” tanya Samu, berusaha terdengar santai meski jantungnya berdetak cepat.


Ale menghela napas panjang. “Aku akan pergi, Sam. Kuliah di luar kota.”


Samu terdiam. Kata-kata itu seperti menyentaknya keluar dari pikirannya sendiri. “Pergi? Kapan?”


“Minggu depan,” jawab Ale, suaranya bergetar. “Aku harus memberitahu kamu langsung, karena aku nggak mau kita berpisah tanpa kejelasan.”


Samu mengangguk pelan, berusaha mencerna kabar itu. Tapi ada sesuatu di matanya, seperti beban yang selama ini ia pendam, dan akhirnya ia berani untuk mengungkapkan.


“Ale,” katanya pelan. “Aku minta maaf. Aku tahu aku menjauh dari kamu, dan kamu pasti bingung kenapa. Aku pikir ini saatnya aku jujur.”


Ale mengangkat alisnya, tak menyangka dengan arah pembicaraan ini.


“Aku menjauh karena permintaan ayah kamu,” lanjut Samu. “Dia bilang aku ngasih pengaruh buruk ke kamu. Dia pengin aku menjauh supaya kamu bisa fokus ke masa depan kamu, tanpa aku jadi penghalang.”


Ale tertegun. Seluruh tubuhnya seperti membeku. “Ayah... bilang itu ke kamu?”


Samu mengangguk. “Aku nggak tahu harus gimana waktu itu. Aku pikir mungkin dia benar. Kamu punya masa depan cerah, Ale. Aku nggak mau jadi alasan kamu gagal.”


Air mata mulai menggenang di mata Ale. “Kamu bodoh, Sam. Kamu pikir aku peduli apa yang ayahku bilang? Aku yang milih kamu, bukan dia. Tapi kamu malah pergi tanpa ngomong apa-apa.”


Ale mendekat, duduk di lantai di depan Samu. Dia menggenggam tangan Samu erat-erat. 


“Dengerin aku, Sam. Aku nggak pernah peduli sama apa yang orang lain pikir tentang kita. Aku cuma pengin kamu ada di hidup aku,”


Samu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ale...”


“Aku akan kembali, Sam,” Ale melanjutkan. “Kalau kamu masih di sini, kalau kamu masih mau aku, aku akan cari kamu lagi. Tapi sekarang, aku butuh kamu untuk percaya sama aku, seperti aku percaya sama kamu.”


Mereka saling menatap, dan dalam keheningan itu, semua emosi yang terpendam akhirnya tersampaikan. 


Ale mendekatkan bibirnya ke bibir Samu, pagutan mesra penuh hasrat. Kali ini Ale yang tampak beringas.


“Aku ingin merasakan itu lagi,” bisik Ale.


Samu tersenyum, dia berdiri menuju pintu dan menguncinya, lalu mendorong Ale hingga berebah di ranjang.


Samu melepas kaosnya dan mendekap Ale, bau tubuh Samu membuat Ale semakin pasrah.


“Setubuhi aku kayak dulu sam, aku kangen,” bisiknya.


Gejolak masa muda mereka tak tertahankan, disamarkan dengan lagu-lagu Deep Purple kesukaan Ale, sore itu mereka melampiaskan hasrat terpendamnya.


Bagi Ale, Samu adalah pria pertama yang menjamah tubuhnya, ia mengijinkan kontol Samu mengoyak lubangnya yang hangat.


-00-


“Setelah lulus kamu mau kemana?” tanya Ale disela pergumulan mereka berdua.


“Kayaknya aku kerja, mungkin kuliah, tapi sepertinya aku tak terlalu punya keinginan itu, aku mau daftar kerja ke korea,” jawab Samu.


“Korea?”


“Ya, aku udah ikut kursus bahasa korea dan apply ke sana, menunggu jawaban.”


“Kita akan jarang ketemu.”


“Belum tentu tiap tahun.”


“Wajah Ale terlihat murung, namun itu realitas yang harus ia jalani.”


Dia meraih lengan Samu dan membiarkannya memeluk lebih lama.


“Aku nyaman seperti ini, dia peluk dari atas,” bisik Ale sambil tersenyum.


Kontol Samu masih menancap di lubang Ale saat perbincangan itu, sesekali Samu mengoyaknya, dan berhenti saat ngobrol.


Posting Komentar untuk "Setubuhi Aku Lagi, Samu"