Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertemuan Samu dan Ayah Ale





Hari itu, Samu sedang bersantai di beranda rumahnya ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran Ayah Ale. 


Pria paruh baya itu berdiri dengan ekspresi tegas, tatapan matanya tajam seakan ingin menguliti setiap rahasia yang disembunyikan Samu.


“Kau Samu, kan? bisa kita bicara?” ujar Ayah Ale tanpa basa-basi.


Samu mengangguk gugup, mempersilakannya masuk. Mereka duduk di ruang tamu, tetapi suasananya lebih menyerupai ruang interogasi. 


Samu bisa merasakan hawa dingin dari tatapan Ayah Ale.


“Sejauh apa hubunganmu dengan Ale?” tanyanya langsung, tanpa memberi ruang untuk basa-basi.


Samu menelan ludah, mencoba merangkai kata-kata. “Kami hanya teman, Pak. Kami kenal saat diklat tiga bulan lalu. Ale banyak membantu saya waktu itu.”


Namun, jawaban itu tampaknya tidak memuaskan. Ayah Ale mengerutkan kening dan mendesak lebih jauh. 


“Teman biasa tidak akan membuat anak saya berubah seperti ini. Ale tidak pernah punya teman dekat sebelumnya, tapi sejak bertemu kamu, dia jadi lebih cuek dengan aturan di rumah. Disiplinnya menurun. Dan yang paling aneh, dia selalu membela kamu, apapun yang terjadi.”


Samu terdiam. Ia tahu Ale memang banyak berubah sejak mereka bertemu, tapi perubahan itu tidak sepenuhnya buruk. 


Ale menjadi lebih terbuka, lebih percaya diri. Namun, ia juga tahu bahwa semua ini terlihat berbeda di mata seorang ayah yang khawatir.


“Pak, saya tidak pernah bermaksud membawa pengaruh buruk untuk Ale. Kami hanya… saling mendukung. Saya bahkan belajar banyak dari dia,” ujar Samu pelan.


Ayah Ale menghela napas panjang, tetapi nada bicaranya tetap tegas. 


“Dengar, Samu. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kalian, tapi satu hal yang pasti: saya ingin kamu menjauhi Ale. Saya tidak ingin dia semakin jauh dari keluarganya karena kamu.”


Samu merasa dadanya sesak. Kata-kata itu seperti pukulan telak yang menghantamnya. Ia mencoba menjelaskan, tetapi Ayah Ale sudah berdiri, memberi isyarat bahwa pembicaraan telah selesai.


“Tolong pikirkan baik-baik, Samu. Kalau kamu benar peduli pada Ale, kamu akan melakukan yang terbaik untuknya. Dan itu berarti menjauhinya,” ucap Ayah Ale sebelum pergi.


Setelah kepergian Ayah Ale, Samu duduk di ruang tamu dengan pandangan kosong. 


Perasaan bercampur aduk memenuhi pikirannya. Ia tahu betapa pentingnya Ale dalam hidupnya, tapi kini ia merasa seperti ancaman bagi seseorang yang ia cintai. 


Tangannya gemetar saat mencoba meraih segelas air, tetapi air mata lebih dulu jatuh membasahi pipinya.


“Kenapa harus seperti ini?” bisiknya kepada dirinya sendiri. 


Hatinya terasa remuk. Ia tidak bisa membayangkan harus menjauh dari Ale, orang yang telah menjadi bagian penting dari hidupnya. 


Namun, ia juga tidak ingin menjadi alasan retaknya hubungan Ale dengan ayahnya.


Malam itu, Samu menangis sendirian di kamarnya. Ia merasa terjebak dalam dilema yang menyakitkan. 


Perasaannya pada Ale begitu kuat, tapi tekanan dari Ayah Ale membuatnya merasa kecil dan tidak berdaya. 


Sambil menatap langit-langit kamar, Samu berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari cara terbaik. 


Jika memang harus menjauh, ia ingin melakukannya tanpa menyakiti Ale. Tetapi, jauh di lubuk hatinya, ia berharap masih ada jalan lain.



Posting Komentar untuk "Pertemuan Samu dan Ayah Ale"