Perubahan Sikap Samu Pada Ale
Ale berdiri di depan pintu rumah Samu dengan perasaan tak menentu.
Sudah beberapa hari ini, Samu jarang membalas pesan-pesannya. Kalaupun membalas, hanya dengan kata-kata pendek yang tidak seperti biasanya.
Sesuatu terasa salah, dan Ale memutuskan untuk mencari tahu langsung.
Samu membuka pintu, tampak terkejut melihat Ale berdiri di sana. “Ale? Kamu kenapa nggak bilang mau ke sini?” tanyanya dengan nada datar.
“Karena kalau aku bilang, mungkin kamu bakal cari alasan buat nggak ketemu,” jawab Ale sambil menatap tajam.
Samu mengalihkan pandangannya, lalu mempersilakan Ale masuk. Mereka langsung menuju kamar, tetapi suasananya terasa canggung.
Ale mencoba membuka percakapan, bertanya tentang kegiatan Samu belakangan ini, tapi jawaban Samu selalu singkat dan tidak menggairahkan.
“Kamu sakit, Samu? Kalau iya, bilang aja. Aku bisa bantu,” ujar Ale dengan nada khawatir.
Samu menggeleng. “Aku nggak apa-apa, Ale. Serius.”
Namun, Ale tidak percaya. Perubahan sikap Samu terlalu mencolok. Setelah beberapa saat hening, Ale akhirnya tidak bisa menahan diri lagi.
“Samu, kalau kamu udah bosan sama aku, bilang aja. Aku nggak apa-apa kok.”
Samu langsung menatap Ale dengan mata melebar. “Apa? Bosan? Dari mana kamu dapat ide itu?”
Ale tersenyum pahit. “Karena kamu berubah, Samu. Kamu nggak seperti dulu. Apa ini karena aku… pure boti? Pasti kamu maunya sesama vers.”
Kata-kata Ale membuat Samu tergelak, meski perasaan di dalam hatinya tetap berat.
“Ale, itu konyol banget. Kamu tahu kan, aku nggak peduli soal itu? Itu sama sekali bukan alasannya.”
“Lalu apa?” tanya Ale, frustrasi. “Kenapa kamu kayak menjauh dariku?”
Samu terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Namun, apa yang ia rasakan terlalu rumit untuk dijelaskan.
Ia ingin melindungi Ale dari tekanan ayahnya, tapi ia juga tidak ingin menyakiti Ale dengan keputusannya sendiri.
“Aku cuma… lagi banyak pikiran, Ale. Itu aja,” jawab Samu akhirnya, meski ia tahu jawaban itu tidak akan memuaskan Ale.
Dan benar saja, Ale hanya mengangguk pelan, tetapi matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
“Kalau kamu nggak mau ngomong jujur, aku nggak akan memaksa. Aku pulang aja, Samu.”
Samu ingin menahan Ale, ingin menjelaskan segalanya, tetapi mulutnya terasa terkunci.
Ia hanya bisa melihat Ale berjalan keluar pintu tanpa menoleh ke belakang.
Setelah pintu tertutup, Samu merasa dadanya semakin sesak. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menyesali sikapnya yang pengecut.
Di satu sisi, ia ingin melindungi Ale dari konflik dengan ayahnya, tetapi di sisi lain, ia sadar bahwa sikap menjauhnya malah menyakiti Ale lebih dalam.
“Maaf, Ale,” bisiknya lirih, meski ia tahu Ale sudah tidak ada di sana untuk mendengarnya.
Posting Komentar untuk "Perubahan Sikap Samu Pada Ale"