Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Samu dan Ale, Teman Sekamar



Samu menatap jendela kamar asrama dengan perasaan campur aduk. 


Program bela negara yang mewajibkan ia tinggal di asrama selama tiga bulan ini terasa seperti hukuman, apalagi harus berbagi kamar dengan Ale, seseorang yang selama ini hanya ia kenal sekilas sebagai si "pendiam yang dingin." 


Tidak ada pilihan lain, jadi Samu menarik napas panjang dan mencoba menerima kenyataan.


Di sisi lain kamar, Ale duduk dengan santai di ranjangnya, membaca buku tebal yang terlihat membosankan. 


Ale nyaris tidak melirik saat Samu masuk. Hanya sebuah anggukan kecil sebagai pengakuan kehadirannya. 


Samu merasa canggung. Dia mencoba mencairkan suasana dengan memulai percakapan ringan, tapi hanya mendapatkan balasan singkat. 


"Mungkin dia memang tidak suka bicara," pikir Samu sambil meletakkan barang-barangnya.


Hari-hari pertama berjalan tanpa banyak interaksi. Samu merasa seperti berbicara dengan dinding setiap kali mencoba mendekati Ale. 


Namun, situasi perlahan berubah ketika mereka diberi tugas kelompok untuk membersihkan halaman asrama. 



Ale, yang biasanya pendiam, ternyata cekatan dan penuh inisiatif. Ketika Samu kehilangan sapunya, Ale tanpa berkata apa-apa meminjamkan miliknya.


"Kamu ternyata baik juga," ujar Samu sambil setengah bercanda. 


Ale hanya mengangkat bahu, tetapi ada secercah senyuman kecil yang sulit diabaikan. Itu adalah momen pertama mereka saling menyadari bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar perbedaan di antara mereka.


Malam itu, Samu melihat Ale sedang menyusun daftar tugas di buku catatannya. Rasa penasaran mendorong Samu untuk bertanya.


"Kamu selalu terorganisir seperti ini?"


Ale mengangguk sambil menjawab, "Aku nggak suka hal-hal berantakan."


Percakapan itu menjadi awal dari diskusi-diskusi panjang lainnya. Samu mulai melihat sisi lain dari Ale yang selama ini tersembunyi. 


Ale ternyata punya selera humor yang tajam, meskipun jarang ditunjukkan. Di sisi lain, Ale mulai menikmati semangat ceria Samu yang selalu membawa warna ke dalam hari-harinya.


Saat akhir pekan, ketika kegiatan lebih santai, mereka sering duduk bersama di balkon kamar. 


Samu bercerita tentang keluarganya yang penuh kehebohan, sementara Ale berbagi kisah tentang hobinya yang tak terduga: melukis. 


Ale bahkan menunjukkan beberapa sketsa di buku gambarnya. 


"Kamu berbakat," kata Samu dengan kagum, dan Ale hanya menunduk malu sambil tersenyum.


Namun, tidak semua berjalan mulus. Pada minggu keenam, mereka sempat bertengkar hebat. 


Ale kesal karena Samu sering meninggalkan barang-barang berserakan, sementara Samu merasa Ale terlalu kaku dan suka mengatur.


"Kamu nggak bisa terus-terusan hidup se-perfect ini, Ale!" seru Samu dengan frustrasi.


"Dan kamu nggak bisa terus-terusan jadi orang yang nggak peduli sama lingkungan sekitarmu, Samu!" balas Ale dengan nada tinggi.


Pertengkaran itu meninggalkan keheningan yang canggung selama beberapa hari. 



Tapi akhirnya, Samu yang lebih dulu mengalah. Ia menulis catatan kecil dan meninggalkannya di meja Ale.


Maaf kalau aku berantakan. Aku janji bakal lebih rapi. - Samu


Ale membalas dengan cara yang tak terduga. Ketika Samu pulang dari tugas sore, ia menemukan kamar yang sudah dirapikan dan ada secarik kertas di meja:


Maaf kalau aku terlalu keras. Terima kasih sudah sabar. - Ale.


Sejak itu, hubungan mereka menjadi lebih kuat. Mereka mulai saling memahami kebiasaan masing-masing. 


Ale belajar untuk lebih santai, sementara Samu menjadi lebih bertanggung jawab. Perlahan tapi pasti, mereka menemukan harmoni yang anehnya terasa alami.


Pada minggu terakhir, ada acara api unggun di mana semua peserta program diminta berbagi pengalaman mereka. 


Ketika giliran Samu tiba, ia berbicara dengan penuh semangat tentang betapa ia belajar banyak dari Ale. 


"Awalnya aku pikir kami nggak cocok sama sekali, tapi ternyata dia adalah salah satu orang paling luar biasa yang pernah aku temui," katanya sambil tersenyum ke arah Ale.


Ale, yang biasanya pendiam, kali ini ikut angkat bicara. 


"Aku juga merasa beruntung. Samu mengajarkanku untuk lebih menikmati hidup, untuk tertawa lebih sering," katanya dengan suara pelan tapi tulus.


Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka duduk berdampingan di pinggir api unggun. 


Tidak ada kata yang perlu diucapkan, tetapi kehadiran satu sama lain sudah cukup. 


Samu merasakan sesuatu yang hangat dan nyaman setiap kali Ale tersenyum, sementara Ale menyadari betapa hidupnya menjadi lebih cerah sejak Samu hadir.


Saat program selesai dan mereka harus berpisah, ada perasaan berat yang tak terelakkan. 


Di stasiun bus, Ale akhirnya berkata, "Aku nggak tahu kapan kita bisa ketemu lagi, tapi aku berharap ini bukan yang terakhir."


Samu mengangguk. "Aku juga. Kita pasti ketemu lagi."


Mereka saling bertukar kontak dan berjanji untuk tetap saling berbagi kabar. 


Meski program tiga bulan itu telah berakhir, hubungan yang mereka bangun terasa seperti awal dari sesuatu yang lebih besar. 


Dan bagi mereka, itu adalah kisah yang baru saja dimulai.


-00-


Samu duduk di tepi tempat tidurnya, menatap ponselnya dengan senyum tipis yang sulit ia tahan. 


Ia baru saja membuka galeri foto dan menemukan satu gambar yang ia ambil diam-diam saat mereka sedang berkumpul di halaman asrama. 


Ale sedang melukis, wajahnya serius dengan alis sedikit berkerut. Samu tertawa kecil, mengingat bagaimana Ale selalu kehilangan ekspresi dinginnya saat sedang fokus pada sesuatu yang ia sukai.


Namun, ada satu kenangan yang terus menghantui pikiran Samu. Ale keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. 


Kulitnya yang basah berkilauan, dan lekukan perutnya yang rata membuat Samu tanpa sadar memalingkan wajah. 


Tetapi, saat itu, detak jantungnya meningkat tajam. Bahkan kini, setiap kali mengingat momen itu, Samu merasa wajahnya memanas.


“Apa aku terlalu memikirkannya?” gumam Samu pada dirinya sendiri. 


Ia meletakkan ponsel dan merebahkan diri. Tapi bayangan Ale terus muncul. 


Senyumnya, tatapan matanya yang kadang hangat, kadang penuh misteri. Samu menghela napas panjang. 


“Aduh, Ale, apa sih yang kamu lakukan ke aku?”


Di tempat lain, Ale menatap langit malam dari balkon apartemennya. Secangkir teh hangat ada di tangannya, tapi pikirannya melayang jauh. 


Ia mengingat hari-harinya bersama Samu di asrama. Salah satu momen yang membuatnya tersenyum adalah wajah Samu saat tidur. 


Pipi Samu yang sedikit tembam dan rambutnya yang berantakan selalu membuat Ale gemas. Ale bahkan pernah diam-diam mengambil foto Samu, meski ia tahu itu bukan hal yang biasa ia lakukan.


“Dia lucu banget waktu tidur,” pikir Ale sambil tertawa kecil. 


Kenangan itu terasa seperti candu baginya. Cara Samu sering terlambat bangun dan panik saat dikejar waktu membuat Ale selalu ingin menggoda. 


Namun di balik semua itu, Ale merasa ada sesuatu yang lebih dalam. Samu membawa kehangatan yang selama ini tidak pernah ia rasakan dari orang lain.


Ketika Ale kembali ke dunia nyata, ia mengambil ponselnya. Ada pesan yang sudah lama ingin ia kirim, tapi ia ragu. 


Haruskah ia memulai obrolan lebih dulu? Setelah beberapa detik menatap layar, akhirnya ia mengetik:


“Hei, kamu apa kabar? Aku kangen cerita-cerita randommu.”


Pesan itu dikirim. Ale merasa gugup. Tangannya hampir gemetar, sesuatu yang tidak biasa baginya. Tapi ia tidak menyesal.


Di sisi lain, ponsel Samu bergetar. Ia langsung meraih ponselnya, dan matanya membelalak saat melihat nama Ale di layar. Dengan senyum lebar, Samu membalas:


“Hei! Aku baik. Aku juga kangen. Ada apa tiba-tiba chat?”


Percakapan pun mengalir seperti air. Mereka saling bertukar cerita, mulai dari kehidupan masing-masing setelah program hingga hal-hal kecil yang mengingatkan mereka pada masa di asrama. 


Tanpa mereka sadari, obrolan itu berlanjut hingga larut malam.


Ale akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang ia rasakan.


“Samu, aku nggak tahu gimana cara bilangnya, tapi aku merasa ada sesuatu yang berubah setelah kita pisah. Aku… aku sering mikirin kamu.”


Samu membaca pesan itu dengan jantung berdebar. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan dirinya sebelum membalas. 


Tapi, senyum di wajahnya tidak bisa disembunyikan.


“Aku juga, Ale. Bahkan sampai sekarang aku masih sering senyum sendiri kalau ingat kita.”


Obrolan mereka malam itu menjadi awal dari hubungan yang lebih dalam. Meski jarak memisahkan, perasaan yang mereka temukan selama tiga bulan bersama di asrama terus tumbuh. 


Dan mereka tahu, di suatu hari nanti, mereka akan kembali bertemu, bukan lagi sebagai teman biasa, tapi sebagai dua orang yang saling melengkapi.



Posting Komentar untuk "Samu dan Ale, Teman Sekamar"