Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Selametan Cinta | Kisah Pelangi



Dika dan Rio duduk berdampingan di kamar kos mereka yang kecil namun hangat. 

Udara malam Jakarta merayap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, membawa suara bising kota yang tak pernah tidur. 

Di atas meja kecil, secangkir teh hangat mengepul, sementara di depan mereka tergeletak undangan yang telah mereka cetak dengan tangan mereka sendiri.

“Jadi, kita benar-benar akan melakukannya?” tanya Rio dengan nada ragu, tangannya gemetar memegang satu undangan.

Dika menatapnya dengan senyum lembut. 

“Kita harus. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua yang tidak punya suara di luar sana.”

Rio menarik napas dalam. Ia tahu, meski cinta mereka tulus, dunia luar sering kali tidak peduli. 

Mereka telah lama bersembunyi, menekan perasaan di balik senyuman pura-pura, menghindari pertanyaan keluarga, dan menahan tatapan penuh penghakiman. 

Namun malam ini, mereka memutuskan untuk berhenti sembunyi.

---

Hari itu tiba. Rumah kontrakan sederhana mereka telah berubah. Lampu-lampu kecil bergantung di halaman depan, meja-meja kayu sederhana disusun dengan piring kecil berisi jajanan pasar. 

Beberapa tetangga mulai berdatangan, bingung dengan undangan “selametan” yang tiba-tiba ini.

“Selametan apa ini?” tanya seorang ibu paruh baya kepada tetangga lainnya. “Mereka mau menikah, ya?”

Di dalam rumah, Rio berdiri di depan cermin. Ia menarik napas panjang, mematut diri. 

Dika datang dari belakang, mengenakan kemeja putih polos dengan sarung yang dililit rapi di pinggang.

“Kamu tampan sekali,” kata Dika sambil tersenyum.

Rio tertawa kecil. 

“Kalau begitu, kita siap?” tanyanya, meski ia tahu jawabannya.

Dika hanya mengangguk. “Kita siap.”

---

Saat semua tamu telah berkumpul, Dika dan Rio melangkah ke tengah-tengah ruangan. 

Beberapa tamu berbisik-bisik, mencoba menebak apa yang akan diumumkan.

Dika mengambil mikrofon kecil. Suaranya sedikit bergetar, tapi ia memaksakan dirinya untuk berbicara. 

“Terima kasih telah datang ke selametan kami. Ini adalah acara yang sangat penting bagi kami. Hari ini, kami ingin berbagi sesuatu yang selama ini kami simpan.”

Ruangan hening. Semua mata tertuju pada mereka.

“Kami…,” Dika melanjutkan, menggenggam tangan Rio. “Kami mencintai satu sama lain.”

Seperti bom meledak, ruangan berubah gaduh. Beberapa tamu langsung beranjak keluar, menunjukkan ketidaksukaan mereka. 

Tapi Dika tetap berdiri tegak, memegang tangan Rio dengan erat.

“Kami tahu ini sulit diterima oleh banyak orang,” lanjut Dika. “Tapi cinta kami tidak salah. Dan hari ini, kami ingin merayakannya dengan orang-orang yang berarti bagi kami, termasuk kalian semua.”

Beberapa tamu yang tersisa mulai berdiri. Di tengah kekacauan itu, seorang ibu tua, tetangga mereka yang sering mengantar makanan ke rumah, mendekat. 

Ia memandang mereka dengan tatapan lembut, lalu menepuk bahu Dika.

“Cinta itu suci, Nak,” katanya pelan. “Jangan biarkan dunia ini mengubah itu.”

---

Malam itu, meski banyak tamu pergi dengan kemarahan atau ketidaksetujuan, mereka yang tetap tinggal menjadi saksi dari cinta yang tak tergoyahkan. 

Dika dan Rio akhirnya merasa bebas, seperti beban bertahun-tahun telah hilang. 

Di bawah langit malam Jakarta, mereka saling menatap, tersenyum, dan tahu bahwa langkah mereka hari itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Mereka mungkin tidak diterima oleh semua orang, tapi mereka telah diterima oleh diri mereka sendiri, dan itu sudah cukup.

*Dinukil dari kisah Sanubari Jakarta


Posting Komentar untuk "Selametan Cinta | Kisah Pelangi"