Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

4. Ranjang Romansa


Setelah menghabiskan waktu bercanda dan berbicara, malam itu terasa hangat di dalam kamar Jerome. 

Mereka berbagi cerita tentang hidup masing-masing. Aldi menceritakan kesibukannya setelah kelulusan dan tekanan dari keluarga serta pacarnya. 

Sementara Jerome, dengan sabar mendengarkan, hanya menyela sesekali untuk memberikan dukungan.

Kamar kos Jerome, meskipun sederhana, memberikan suasana nyaman yang sulit didapat di tempat lain. 

Ukurannya cukup luas, sekitar 5x7 meter, dengan dinding yang dihiasi poster pemandangan pantai dan rak kecil penuh buku di salah satu sudutnya. 

Sebuah tempat tidur single dengan sprei biru polos berada di sisi kanan kamar, sementara meja kerja kayu yang rapi berdiri di sebelahnya. 

Sebuah kipas angin kecil berputar perlahan di atas meja, memberikan kesejukan dalam udara malam yang hangat. 

Ada dapur mini di pojok, dilengkapi kompor gas dan beberapa peralatan memasak yang tertata rapi. 

Kamar mandi dalamnya bersih, dengan shower sederhana dan ubin putih yang terawat.

“Kamu nggak keberatan aku datang tiba-tiba, kan, Kak?” tanya Aldi, suaranya rendah namun penuh harap.

Jerome menatapnya lekat. “Aldi, kamu tahu nggak, aku seneng banget kamu di sini. Aku pikir setelah magang selesai, kita nggak akan pernah ketemu lagi.”

Aldi tersenyum kecil. “Aku juga ngerasa kosong setelah pulang. Pacarku... dia nggak pernah ngerti aku. Dia maunya semuanya tentang dia, sementara kamu... kamu beda.”


Jerome terdiam. Kata-kata Aldi menyentuh sesuatu yang selama ini ia pendam. 

Tapi ia tahu, ia harus tetap berhati-hati. “Al, aku nggak mau kamu ambil keputusan gegabah. Aku nggak mau jadi alasan kamu ninggalin hal-hal penting dalam hidupmu.”

Aldi menatap Jerome dengan tatapan yang sulit diartikan. 

“Kak, kamu udah jadi alasan aku ke sini. Aku tahu ini nggak gampang, tapi aku nyaman sama kamu.”

Malam semakin larut, dan suasana menjadi lebih tenang. Aldi duduk di lantai bersandar pada tempat tidur, sementara Jerome duduk di kursinya dengan tatapan yang terus tertuju pada Aldi. 

Mereka tenggelam dalam percakapan mendalam, seakan waktu berhenti untuk mereka.

---

Keesokan harinya, Jerome bangun lebih awal, membiarkan Aldi yang masih terlelap di kasur kecilnya. 

Ia memandang Aldi yang tertidur nyenyak, wajahnya damai. Hatinya bergejolak. Apakah ini benar? Apakah ia salah membiarkan perasaan ini berkembang?

Jerome memutuskan untuk membuatkan sarapan sederhana—roti panggang dan teh hangat. 

Ketika Aldi bangun dan melihat Jerome sibuk di dapur mini, ia tersenyum. “Kak Jerome, kok repot-repot?”

“Ah, nggak repot kok. Kamu pasti lapar,” jawab Jerome sambil tersenyum kecil.

Mereka makan bersama di meja kecil di sudut ruangan. Aldi merasa ini adalah tempat yang ia inginkan—bukan gedung tinggi dan kebisingan Ibu Kota, tetapi kesederhanaan dan kehangatan yang hanya Jerome bisa berikan.

Namun, Aldi tahu, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan sepenuhnya. Ada keputusan besar yang harus ia buat. 

Apakah ia akan tetap berpegang pada rencananya untuk bekerja di Jakarta bersama pacarnya, ataukah ia memilih jalan baru yang lebih jujur pada perasaannya?

---

Beberapa hari berikutnya, Aldi dan Jerome menghabiskan waktu bersama di Bali, menjelajahi tempat-tempat yang pernah mereka bicarakan saat magang dulu. 

Mereka tertawa, berbagi cerita, dan semakin dekat. Tetapi bayangan akan perpisahan yang tak terhindarkan terus menghantui.

Di malam terakhir sebelum Aldi kembali ke Jakarta, mereka duduk di pantai, ditemani suara ombak yang terus mengalun. 

Aldi memandang Jerome dalam-dalam. “Kak, aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi aku janji, aku nggak akan lupa sama kamu.”

Jerome mengangguk, meski hatinya berat. “Aku juga nggak akan lupa sama kamu, Al. Apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu dukung.”

Kata-kata itu menggantung di udara, menjadi saksi dari momen yang penuh dengan rasa sayang dan keraguan. 

Malam itu, mereka kembali ke kos dengan hati yang sama-sama berat, kecupan bibir tak terelakkan.

Aldi dengan beringas melumat bibir Jerome, lalu melucuti pakaiannya, Jerome tak mampu melawan selain pasrah tubuhnya dijamah remaja berusia 18 tahun itu.

Malam yang dingin perlahan menjadi agak panas ketika tubuh mereka banjir oleh keringat.



Posting Komentar untuk "4. Ranjang Romansa"