Aku Ingin Jadi Boti, Han | BL Story Indonesia
Cahaya senja menyelinap masuk melalui jendela besar yang melapisi dinding kafe, memantulkan semburat keemasan ke permukaan meja kayu.
Aroma kopi yang hangat bercampur dengan udara sore yang sejuk, menciptakan suasana tenang di ruangan itu.
Suara lembut mesin espresso menjadi latar, sementara para pelanggan berbincang dengan pelan, seakan enggan memecah kedamaian sore.
Di sudut kafe, dua pemuda duduk saling berhadapan. Keduanya mengenakan pakaian santai, kaos tanpa lengan yang memperlihatkan kulit mereka yang terpapar sinar matahari, seolah keduanya baru saja selesai berolahraga.
Satu orang mengenakan kaos abu-abu dengan huruf asing di depannya, sementara yang lain mengenakan kaos biru dengan tulisan mencolok di dada. Sebuah cangkir kopi hangat ada di depan mereka, uapnya masih mengepul perlahan.
"Jadi, apa yang sebenarnya membuatmu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Farhan, pemuda berbaju abu-abu, sambil menatap lurus ke arah Luvanda.
Matanya tajam, namun ada sedikit rasa penasaran di balik tatapan itu.
Luvanda, dengan kaos birunya, tersenyum tipis. Ia menyesap kopinya perlahan sebelum akhirnya menaruh cangkirnya ke meja.
"Farhan, aku sudah lama ingin memberitahumu sesuatu," ujarnya dengan suara yang sedikit lebih rendah dari biasanya.
"Aku... aku memutuskan ingin menjadi boti."
Farhan mengerutkan kening, memiringkan kepala sedikit.
"Boti? Maksudmu...?"
Luvanda menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Aku sudah lama jadi vers, Farhan. Tapi aku merasa... ini saatnya aku berubah. Aku ingin mencoba menjadi boti."
Farhan menatapnya tak percaya, pandangannya seolah mencari kepastian bahwa ini hanya lelucon.
"Luvanda, kau serius? Bukankah selama ini kau selalu bilang kalau kau nyaman dengan dirimu yang sekarang? Kenapa tiba-tiba?"
Luvanda tersenyum kecil, ada rasa lega sekaligus tegang di wajahnya.
"Aku tahu ini mengejutkan. Tapi aku sudah memikirkannya. Aku merasa... aku ingin mencoba sesuatu yang baru. Ini bukan soal aku tidak nyaman dengan siapa diriku sebelumnya, tapi lebih kepada eksplorasi diri. Aku ingin tahu bagaimana rasanya berada di sisi itu."
Farhan menelan ludah, merasa ada sesuatu yang berat di dadanya.
Bukan hanya karena keputusan Luvanda yang tiba-tiba, tapi juga karena ia sadar, keputusan ini berarti sesuatu yang lain—hubungan mereka tak akan pernah sama lagi.
Selama ini, ia merasa nyaman karena mereka bisa saling mengimbangi, saling berbagi peran, saling melengkapi.
Tapi dengan perubahan ini, keseimbangan itu akan hilang.
"Luvanda," ujar Farhan, suaranya lebih pelan namun ada nada kecewa yang tak bisa ia sembunyikan,
"kau tahu, aku menghargai keputusanmu. Ini hidupmu. Tapi... aku nggak bisa bohong kalau aku kecewa. Kau tahu artinya ini, kan? Kita nggak akan bisa seperti dulu lagi. Aku nggak akan bisa... bergantian denganmu."
Luvanda menatap Farhan, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh arti.
"Aku tahu," jawabnya, suaranya penuh penyesalan.
"Aku nggak pernah berniat menyakiti perasaanmu, Farhan. Aku hanya merasa ini sesuatu yang harus aku lakukan untuk diriku sendiri. Aku harap kau bisa mengerti."
Farhan menghela napas panjang, mencoba menekan rasa kecewanya.
Ia tahu ia tak berhak memaksa Luvanda untuk tetap seperti dulu.
Tapi kenyataan bahwa mereka tak lagi bisa berbagi seperti sebelumnya terasa seperti kehilangan sesuatu yang penting.
"Aku mengerti," ujar Farhan akhirnya, meski suaranya terdengar berat.
"Aku cuma butuh waktu untuk menerima ini, Luvanda. Kau tetap temanku, dan aku ingin mendukungmu. Tapi aku nggak akan bohong, ini sulit buatku."
Luvanda menggenggam cangkir kopinya, terlihat ragu sejenak sebelum berkata,
"Farhan, aku tahu ini berat, tapi aku nggak ingin kehilanganmu. Aku harap kita masih bisa tetap seperti ini, meski ada yang berubah."
Farhan hanya mengangguk pelan, meski hatinya masih bergulat dengan berbagai emosi.
Di satu sisi, ia ingin mendukung temannya. Di sisi lain, ia tak bisa memungkiri rasa kecewa dan kehilangan yang kini membayangi persahabatan mereka.
Percakapan itu berhenti, menyisakan suasana yang penuh makna.
Dua cangkir kopi di atas meja menjadi saksi dari diskusi mendalam tentang perubahan, penerimaan, dan batasan yang kini membayangi hubungan mereka.
Di luar kafe, matahari tenggelam sepenuhnya, membawa kegelapan malam.
Namun di dalam hati mereka, terang dan gelap saling bertarung, mencoba mencari keseimbangan baru di tengah perubahan yang tak terelakkan.
Posting Komentar untuk "Aku Ingin Jadi Boti, Han | BL Story Indonesia"