Di Antara Tusuk Sate
Langit sore di pasar malam itu berwarna jingga keemasan, memantulkan cahaya lembut di antara lampu-lampu yang berkelap-kelip.
Suara riuh pedagang dan pengunjung bercampur dengan aroma daging panggang yang memenuhi udara.
Sebuah meja kayu sederhana di pinggir jalan menjadi saksi pertemuan dua sahabat, Arya dan Nando.
Di depan mereka, tusuk-tusuk sate tersaji hangat, seakan menjadi penghubung cerita-cerita yang mereka bagi.
“Aku selalu suka tempat ini,” ujar Arya sambil menusukkan sate ke mulutnya. “Rasanya kayak kita meninggalkan semua beban hidup di sini, meskipun cuma sebentar.”
Nando tersenyum tipis, pandangannya melayang ke keramaian.
“Iya, tempat ini memang punya caranya sendiri untuk bikin kita lupa. Tapi, kadang aku mikir, apa semua orang di sini juga merasa bebas? Atau cuma kita yang pura-pura lupa?”
Hening sejenak menyelimuti mereka. Arya menatap Nando, mencoba membaca maksud di balik kata-kata sahabatnya.
“Kamu baik-baik aja, kan?”
Nando menghela napas, lalu mengangguk pelan.
“Aku baik. Cuma… kadang merasa terjebak. Di rutinitas, di ekspektasi orang-orang, bahkan di harapan yang aku buat sendiri.”
Arya mengambil tusuk sate lainnya dan berkata,
“Kita semua punya itu, No. Tapi mungkin kita terlalu sibuk mendengar apa yang dunia mau, sampai lupa tanya ke diri sendiri: sebenarnya apa yang kita cari?”
Di sisi lain pasar, mereka melihat sekelompok anak muda yang saling bercanda sambil menikmati makanan.
Gelak tawa mereka terdengar tulus, tanpa beban. Nando memandangi mereka, seolah menemukan secercah harapan dalam keceriaan itu.
“Arya, apa kamu pernah merasa kehilangan sesuatu yang nggak pernah kamu miliki?” tanya Nando tiba-tiba.
Arya terdiam, mencoba mencerna pertanyaan itu.
“Mungkin. Tapi kalau dipikir-pikir, kehilangan itu bagian dari perjalanan kita. Kadang, apa yang kita kira hilang, sebenarnya nggak pernah benar-benar ada. Kita cuma membayangkan kehadirannya.”
Matahari semakin tenggelam, menyisakan langit yang perlahan berubah gelap.
Lampu-lampu pasar malam menjadi semakin terang, menciptakan suasana yang hangat dan penuh kehidupan.
Namun, di tengah keramaian itu, dua sahabat ini merasa berada di dunia mereka sendiri.
Nando tersenyum kecil, seakan menemukan ketenangan dalam jawaban Arya.
“Mungkin kamu benar. Aku cuma terlalu sering mencari sesuatu di luar, padahal jawaban ada di dalam sini.” Ia menepuk dadanya pelan.
“Ayo, makan lagi. Kita nggak bisa biarin sate ini dingin,” canda Arya, mencoba mencairkan suasana.
Mereka tertawa kecil, lalu melanjutkan obrolan ringan tentang hal-hal sepele, seperti film yang baru mereka tonton atau rencana perjalanan kecil ke tempat lain.
Di akhir malam, ketika mereka berjalan pulang melewati jalanan yang semakin lengang, Nando berkata,
“Terima kasih, Arya. Aku tahu ini cuma percakapan kecil, tapi rasanya berarti banget buat aku.”
Arya menepuk pundak Nando. “Itulah gunanya teman, No. Kadang kita cuma butuh seseorang untuk mendengar, tanpa harus memberikan solusi.”
Pasar malam itu mungkin hanya sebuah tempat sederhana dengan segala kesibukannya.
Tapi bagi Arya dan Nando, itu adalah ruang untuk berhenti sejenak, mencari arti, dan mengingat bahwa dalam perjalanan hidup yang penuh lika-liku, mereka tidak berjalan sendirian.
Posting Komentar untuk "Di Antara Tusuk Sate"