Hati yang Tertinggal di Kasir | BL Story Indonesia
Rak-rak tinggi berjajar rapi di bawah lampu neon putih yang memancarkan cahaya terang, menyoroti barisan produk yang tertata seragam.
Di sudut swalayan, meja kasir berdiri kokoh dengan bunyi beep scanner yang sesekali terdengar memecah kesunyian malam.
Hembusan dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma khas plastik kemasan dan bahan makanan segar.
Di sinilah Bara pertama kali melihat Rizky.
Bara sudah lama tahu Rizky adalah pramuniaga di swalayan itu. Setiap kali dia mampir membeli sesuatu—entah sekadar roti atau kopi sachet—Rizky selalu ada di sana.
Malam itu, Bara datang untuk membeli rokok. Dengan seragam biru dan lencana nama kecil di dadanya, Rizky melayani Bara dengan senyuman profesional.
Namun ada sesuatu dalam cara Rizky memandang yang membuat Bara ingin lebih mengenalnya.
“Rumah jauh?” Bara memulai obrolan saat Rizky menyerahkan kembalian.
Rizky tersenyum kecil.
“Lumayan. 16 kilometer dari sini.”
“Wah, jauh banget. Kalau shift malam, aman nggak lewat sana?”
“Kadang was-was juga. Soalnya jalannya sepi, lewat hutan kecil.”
Sejak saat itu, Bara tak pernah melewatkan kesempatan untuk ngobrol dengan Rizky setiap mampir ke swalayan.
Dia tahu kehidupan seorang pramuniaga tidak mudah. Tugas mereka mencakup banyak hal—menyusun barang di rak, memeriksa stok, melayani pelanggan dengan berbagai karakter, hingga membersihkan area toko.
Belum lagi menghadapi tantangan seperti pelanggan yang rewel, shift panjang, dan harus tetap waspada pada pencurian.
Karena rumah Rizky jauh, Bara sering menawarkan sesuatu yang sederhana tapi tulus.
“Kalau dapat shift malam, nginep aja di kosku. Deket kok, cuma 20 meter dari sini.”
Awalnya Rizky menolak, merasa sungkan. Namun setelah beberapa kali, dia akhirnya mengiyakan.
Mereka bisa akrab karena tahu kalau menggunakan aplikasi biru.
Ada rasa aman yang dirasakannya ketika berada di kos Bara, sebuah kamar kecil dengan dinding putih dan kipas angin tua di sudut.
Obrolan mereka pun semakin akrab. Dari cerita ringan soal pekerjaan hingga mimpi-mimpi yang belum sempat mereka wujudkan.
“Kamu nggak bosan kerja di sini?” tanya Bara suatu malam saat Rizky sedang istirahat.
“Kadang bosan juga,” jawab Rizky, “tapi aku butuh pekerjaan ini. Lumayan buat bantu orang tua.”
Hari-hari berlalu, dan Rizky semakin sering mampir ke kos Bara. Kadang dia hanya duduk-duduk, kadang menginap beberapa hari saat shift malam beruntun membuatnya kelelahan.
Kos itu bahkan seperti rumah kedua bagi Rizky.
Bara suka melihat Rizky selepas mandi dan hanya mengenakan handuk sambil mengoles bagian tubuhnya agar terjaga.
"Biar mulus ya kulitnya," goda Bara.
"Iya lah masih barang dagangan ini," kelakarnya.
Saat Rizky tertidur, Bara sering memandangi wajahnya, sesekali Rizky merangsek ke pelukan Bara.
Dia tampak imut dan manja, kadang Rizky terbangun saat Bara memeluknya, dan dia tak keberatan.
Badan Bara mulus dan atletis, juga hangat. Moment itu sangat mereka nikmati meski tak pernah sengaja melakukannya.
Namun kebersamaan itu tak berlangsung lama. Suatu hari, Rizky mengabari bahwa dirinya akan dipindahkan ke swalayan lain yang lebih dekat dengan rumahnya.
“Aku seneng sih, jadi nggak harus lewat hutan lagi,” katanya, meski Bara bisa melihat sorot sedih di matanya.
Perlahan, hubungan mereka merenggang. Swalayan baru Rizky berjarak jauh dari kos Bara.
Waktu mereka untuk bertemu semakin sedikit. Bara mencoba menghubungi, tapi jawaban Rizky tak lagi sehangat dulu.
Mungkin kesibukan pekerjaan, atau mungkin mereka memang mulai kehilangan arah.
Di swalayan itu, rak-rak tetap berdiri kokoh, lampu neon tetap menyala terang, tapi bagi Bara, tempat itu tak lagi sama.
Ia sering memandang ke arah meja kasir, berharap Rizky tiba-tiba ada di sana, tersenyum seperti malam pertama mereka bertemu.
Tapi yang tersisa hanya kenangan—dan sebatang rokok yang tak pernah sempat mereka hisap bersama.
Posting Komentar untuk "Hati yang Tertinggal di Kasir | BL Story Indonesia"