Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kamar dengan Satu Jendela | BL Story



Brian berdiri di sudut ruang tamu dengan punggung menempel pada dinding. 

Ayahnya masih memegang tas ransel yang dilemparkan ke arahnya beberapa menit lalu. 

“Keluar dari rumah ini,” suara ayahnya tegas, dingin. Brian tidak menjawab. 

Ia menggenggam ransel itu erat dan melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.

Kos-kosan kecil di pinggir kota menjadi tempat Brian menumpang hidup. 

Kamar itu berukuran tiga kali empat meter, dengan satu jendela yang menghadap gang sempit. 

Ada kasur tipis di lantai, meja kecil untuk laptop dan alat gambar, serta gantungan baju di sudut ruangan.

Setiap pagi, Brian bangun sebelum fajar. Pekerjaannya sebagai cleaning service dimulai pukul enam. 

Ia mengenakan seragam abu-abu dan sepatu kets tua yang talinya hampir putus. 

Di lobi gedung kantor besar itu, ia menyapu, mengepel, membersihkan kaca yang menjulang tinggi hingga bisa melihat bayangannya sendiri. 

Toilet adalah tugas terakhirnya. Menggosok keramik dengan cairan pembersih yang bau menyengat sering membuatnya mual. 

Namun, ia melakukannya tanpa mengeluh.

Siang harinya, ia kembali ke kamar kos untuk makan nasi dengan lauk seadanya. Terkadang Muse datang membawa bekal dari warung langganannya. 

Muse, kekasihnya, seorang mahasiswa seni yang selalu tahu cara membuat Brian tersenyum di tengah kelelahan. 

“Kamu nggak perlu malu,” kata Muse suatu hari, saat duduk di lantai kamar sambil memakan nasi bungkus. 

“Kita semua berjuang. Kamu luar biasa.”

Brian bekerja keras, bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk membuktikan sesuatu kepada dirinya sendiri dan ayahnya. 

Ketika shift sore selesai, ia mengerjakan proyek ilustrasi sebagai freelancer. 

Tangan yang tadinya memegang pel kini menggambar di tablet bekas. 

Garis-garis yang ia buat sering kali dipengaruhi kelelahan; warna-warna di ilustrasinya mencerminkan keletihan namun penuh harapan.

Muse selalu hadir ketika Brian hampir menyerah. 

“Aku cuma mau memastikan kamu makan,” kata Muse sambil menuangkan teh hangat ke dalam gelas plastik. 

Muse juga sering membawa buku kuliahnya ke kos Brian, mengerjakan tugas sambil menemaninya menyelesaikan proyek ilustrasi.

Kamar kos itu menjadi saksi keakraban mereka. Di sana, Muse pernah bercerita tentang mimpinya menjadi kurator seni, sementara Brian berceloteh tentang keinginannya memiliki studio ilustrasi kecil. 

Terkadang mereka hanya duduk diam, mendengarkan hujan yang mengetuk jendela.

Hidup hemat adalah pilihan yang wajib bagi Brian. Sebagian besar gajinya ia tabung. 

Ia jarang membeli pakaian baru atau keluar makan di luar. Meski sederhana, ia merasa hidupnya lebih terarah. 

Setiap kali ia memandang Muse yang tertidur di lantai dengan kepala bersandar pada tumpukan bantal, Brian merasa bahwa perjuangannya tidak sia-sia.

Suatu malam, Brian menangis. Muse yang baru datang dari kampus menghampirinya. 

“Kenapa?” tanya Muse, tangannya menyentuh pundak Brian.

“Kadang aku capek,” jawab Brian pelan. “Aku cuma ingin ayahku tahu aku bisa. Aku nggak minta dia setuju, cuma… aku ingin dia nggak benci aku.”

Muse mendekat dan memeluknya.

“Dia ayahmu. Dia akan menyadari apa yang dia hilangkan.”

Malam itu, jendela kecil di kamar kos Brian terbuka. Angin malam masuk, membawa bau tanah basah dan suara anak-anak yang bermain di gang. 

Brian menyandarkan kepala di pundak Muse, merasa sedikit lebih ringan.

"Aku capek," ucap Brian.

Muse yang peka langsung mendorong pelan pundaknya dan mencumbu area lehernya.

"Geli anjiirrr ...."

"Tapi itu kan yang kamu mau?"

Mereka melampiaskan hasrat masa mudanya, kamar kecil itu adalah surga bagi cinta dua orang yang tak diharapkan keluarganya.

Jelang pukul sepuluh malam, tubuh mereka telah banjir keringat tanpa sehelai kain sama sekali.

Telanjang bulat, dan tak ada lagi lekuk tubuh dari tubuh mereka yang tertutupi.

Kamar dengan satu jendela itu menyimpan cerita tentang dua anak muda yang tidak menyerah pada dunia. 

Di ruang sempit itu, Brian terus belajar hidup, mencintai, dan membangun masa depan yang ia impikan, bersama Muse yang selalu ada di sisinya.


Posting Komentar untuk "Kamar dengan Satu Jendela | BL Story"