Ranjang yang Sunyi | BL Story Indonesia
Malam itu, kamar kos Aldo terasa hangat dengan temaram lampu meja yang berpendar redup.
Poster band legendaris menempel di dinding yang mulai kusam, sementara gitar tua bersandar di pojok, bersama dengan amplifier kecil yang sudah sedikit berdebu.
Di kasur tipis yang hanya dilapisi sprei polos, Aldo dan Kinan berbaring berdua, menikmati momen tenang di tengah kesibukan mereka.
"Kinan, aku suka banget momen kayak gini," ujar Aldo sambil memandangi wajah Kinan yang bersandar di dadanya.
Kinan tersenyum kecil, tangannya bermain di sela-sela jemari Aldo.
"Aku juga, Do. Enak kan?"
Aldo mengangguk. Kinan duduk di atas perut Aldo, sejak 15 menit lalu lubangnya tertancap penis Aldo.
Dia bergoyang, naik turun intens, mendesah bersama dan sesekali berhenti untuk ngobrol.
Rasanya dunia begitu nyaman.
Namun, kehangatan itu terpotong oleh suara ponsel Aldo yang bergetar di atas meja.
Nada dering khas dari grup band mereka membuat Aldo mendesah.
Ia meraih ponsel dan melihat nama Bara berkedip di layar. "Halo?" jawabnya dengan nada setengah malas.
"Aldo, studio udah kebayar, latihan mulai sekarang! Jangan ngaret!"
Bara langsung berbicara dengan nada tegas di seberang telepon.
Aldo mengusap wajahnya, menatap Kinan dengan pandangan penuh rasa bersalah. "Sebentar, gue lagi ada di kos. Gue nyusul."
Bara hanya mendengus di telepon sebelum menutup panggilan.
Kinan menatap Aldo dengan tatapan penuh harap.
"Do, nggak bisakah nanti aja? Kita baru mulai. Aku nggak mau momen ini cepat selesai."
Aldo terdiam, bimbang di antara kewajiban pada band dan keinginan untuk tetap bersama Kinan.
"Latihan ini penting banget, Kin. Minggu depan kita manggung, dan Bara nggak akan berhenti marah kalau aku nggak datang."
Kinan menghela napas, wajahnya berubah dingin.
"Jadi, aku harus selalu jadi nomor dua buat kamu, ya?"
"Kinan, bukan begitu—" Aldo mencoba menjelaskan, tapi ponselnya kembali bergetar. Kali ini pesan suara dari Bara.
"Kalau lo nggak datang sekarang, mending lo keluar aja dari band!"
Aldo membalikkan badan Kinan, kini giliran Kinan yang berabah manja di bawahnya.
"Aku klimakskin kamu ya?" ucap Aldo.
Aldo menaikkan kaki Kinan di bahunya, sambil jemarinya memelintir puting.
Ini cara paling akhir untuk membuat Kinan mengaluarkan cairan kental dari penisnya.
"Tapi ini terlalu cepat," keluh Kinan sambil mendesah, enak, tapi ini terlalu cepat untuk sesi akhir.
Sementara Aldo harus buru-buru ke tempat latihan.
Aldo mendesah keras. Begitupun Kinan, penis mereka telah basah oleh cairan masing-masing.
Aldo mencabut penisnya, bebersih lalu berdiri, meraih jaket dan gitarnya.
"Maaf, Kin. Aku harus pergi."
Kinan hanya memalingkan wajah, tidak berkata apa-apa.
---
Studio band mereka berada di lantai dua sebuah gedung tua. Lampunya terang menyilaukan, dindingnya berlapis busa kedap suara penuh coretan lirik lagu dan tanda tangan musisi lokal.
Drum set berdiri megah di tengah ruangan, sementara amplifier gitar berdengung pelan.
Bara berdiri di depan mikrofon, wajahnya langsung mengeras melihat Aldo masuk.
"Lo telat lagi! Studio ini dibayar per jam, tahu nggak?"
Aldo mengatur gitarnya, menahan emosi. "Maaf, gue ada urusan tadi."
"Urusan? Urusan lo itu band, Aldo! Kalau lo nggak serius, mending cabut aja!" Bara membentaknya.
Suasana di studio memanas. Aldo mencoba fokus, memainkan nada gitar yang diminta Bara.
Namun, pikirannya melayang pada pesan yang baru saja masuk di ponselnya.
"Aku kecewa, Do. Selalu band yang lebih penting buat kamu."
Aldo merasa dadanya sesak. Ia ingin membalas pesan Kinan, tapi Bara terus menekan.
"Main sekarang atau keluar!"
Aldo mematuhi, meski jari-jarinya terasa berat memetik gitar. Suara yang biasanya jernih kini terdengar hambar, penuh tekanan.
Latihan malam itu selesai tanpa percakapan. Bara hanya memberi perintah singkat, sementara Aldo menahan diri agar tidak meledak.
Setibanya di kos, Aldo mendapati kamarnya gelap. Kinan sudah pergi, hanya meninggalkan selimut kusut dan aroma parfumnya yang samar.
Di atas meja, sebuah catatan kecil tertinggal:
"Aku lelah jadi pilihan kedua. Hubungi aku kalau kamu tahu apa yang sebenarnya kamu mau."
Aldo duduk di tepi kasur, meraih gitarnya. Ia memetik nada pelan, mencoba mencari melodi yang bisa meredakan hatinya yang penuh konflik.
Namun, suara gitar itu terasa hampa, seperti hatinya yang kini kosong.
Dalam kesunyian malam itu, Aldo bertanya pada dirinya sendiri. Apakah ia harus memilih antara mimpi bersama band atau cinta yang ia bangun dengan Kinan?
Ataukah ia bisa mempertahankan keduanya tanpa kehilangan dirinya sendiri?
Posting Komentar untuk "Ranjang yang Sunyi | BL Story Indonesia"