Rindu yang Tak Tersampaikan | BL Story Indonesia
Di sudut kota yang ramai, sebuah tempat gym modern bernama "Fire Gym" berdiri megah dengan kaca besar yang memperlihatkan aktivitas di dalamnya.
Di lantai utama, deretan treadmill berbaris rapi dengan tampilan monitor yang mencatat kecepatan dan jarak.
Sepeda statis terletak di sisi lain, memberikan alternatif latihan kardio bagi pengunjung.
Di pojok ruangan, barisan dumbbell berbagai ukuran tersusun di rak logam, ditemani bench press yang tampak kokoh.
Mesin kabel multifungsi mengisi sisi tengah ruangan, tempat para anggota melatih berbagai otot tubuh.
Lampu neon biru menyinari ruangan, memberikan atmosfer futuristik namun hangat.
Nico baru pindah ke kota ini. Setelah lama merasa tubuhnya kurang fit akibat pekerjaan kantoran yang monoton, ia memutuskan menjadi member baru di Fire Gym.
Sebagai orang baru, Nico tampak tenang namun sedikit canggung saat memasuki gym untuk pertama kalinya.
Tubuhnya terlihat sederhana—tidak terlalu besar, tetapi proporsional dengan otot yang tampak natural.
Di sisi lain gym, Alvin, seorang member lama, memperhatikan wajah baru itu.
Dengan penuh rasa penasaran, ia mendekat setelah melihat Nico mencoba mengatur alat elliptical.
"Baru pertama kali di sini?" tanya Alvin, membuka percakapan.
Nico tersenyum ramah. "Iya, saya Nico. Baru pindah ke kota ini. Lagi belajar cara pakai alat-alatnya," jawabnya sambil tertawa kecil.
Alvin tertawa, lalu membantu menjelaskan cara menggunakan elliptical.
"Kalau mau latihan kardio yang ringan, alat ini pas banget. Tapi kalau mau lebih menantang, coba treadmill di sana. Bisa atur kecepatan dan elevasi," jelasnya.
Nico mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk.
Mereka berbincang lebih banyak setelah itu. Nico menjelaskan bahwa dia ke gym bukan untuk membentuk otot seperti binaragawan, melainkan hanya untuk menjaga kebugaran.
Alvin memuji bentuk tubuh Nico.
"Menurutku, badanmu sudah bagus. Sederhana, proporsional, dan kelihatan sehat. Tidak perlu kelihatan berotot besar untuk terlihat fit," katanya.
Hari-hari berikutnya, Nico dan Alvin mulai sering bertemu di gym, terutama saat akhir pekan.
Mereka menyesuaikan waktu agar bisa ngegym bersama. Alvin mengenalkan berbagai alat lainnya, seperti rowing machine untuk melatih otot punggung, smith machine untuk latihan angkat beban yang lebih stabil, dan pull-up bar yang sering menjadi tantangan tersendiri.
Nico menikmati prosesnya, apalagi ada Alvin yang selalu memberikan semangat.
Seiring waktu, hubungan mereka semakin akrab. Mereka saling mendukung dalam rutinitas masing-masing, berbagi cerita tentang pekerjaan dan kehidupan.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh di hati keduanya—rasa yang lebih dari sekadar pertemanan.
Nico sering merasa jantungnya berdegup lebih cepat ketika Alvin tersenyum atau sekadar menyapa.
Tapi ia selalu menahan diri, takut jika perasaannya akan merusak hubungan mereka.
"Alvin mungkin straight," pikir Nico.
Alvin, di sisi lain, merasakan hal yang sama. Ia merasa ada sesuatu yang spesial dari Nico, tetapi ragu untuk mengungkapkan.
"Nico pasti menganggap aku hanya teman biasa," gumamnya dalam hati.
Waktu terus berlalu. Perasaan itu tetap tak tersampaikan. Mereka terus berbagi tawa dan dukungan, tetapi masing-masing menyimpan rahasia di dalam hati.
Hingga suatu hari, Nico harus pindah lagi karena pekerjaan. Saat perpisahan di gym, mereka hanya saling berjabat tangan dengan senyum hangat, menyembunyikan apa yang sebenarnya ingin mereka katakan.
Di Fire Gym yang penuh dengan alat-alat kebugaran, jejak langkah mereka masih tertinggal.
Namun, jejak hati mereka tetap menjadi misteri, tak pernah diungkapkan, hanya menjadi kenangan yang terbungkus dalam kehangatan persahabatan.
Posting Komentar untuk "Rindu yang Tak Tersampaikan | BL Story Indonesia"