Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Selimut Hangat Bersama Oliver | Cerita Pelangi


Musim panas menyelimuti segala sesuatu dengan kehangatan yang memabukkan, di Vila kuno pedesaan Italia Utara.


Pohon-pohon zaitun berdiri diam, memberikan bayangan tipis di atas tanah berbatu, sementara bunga bugenvil melingkari dinding batu yang sudah menua. 


Suara burung-burung camar bersahutan dengan deru air mancur di halaman tengah vila, menciptakan simfoni alam yang tenang.


Di dalam vila itu, Elio Perlman duduk di bawah kanopi pohon aprikot, jari-jarinya memainkan melodi rapsodi sederhana di atas piano tua. 


Angin lembut membawa aroma kayu manis dan lavender, memeluk tubuhnya yang lelah setelah seharian berenang di sungai kecil di dekat situ.


Hingga suatu pagi, Oliver, pria muda Amerika dengan tubuh atletis dan senyuman cerah, tiba di vila itu. 


Kehadirannya adalah bagian dari rencana magang dengan ayah Elio, seorang profesor arkeologi terkenal. 


Namun, kehadirannya membawa lebih dari sekadar diskusi akademik; ia membawa kehangatan yang menyusup ke relung-relung hati Elio.


---


Hari-hari berlalu, Elio mengamati Oliver dengan diam-diam. 


Ada sesuatu pada pria itu yang membuatnya gelisah—caranya tertawa, caranya menyisir rambut dengan santai, dan caranya berbicara dengan penuh percaya diri. 


Namun, Elio tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Baginya, perasaan itu adalah rahasia yang hanya bisa disimpan di antara detak jantungnya.


Suatu sore, saat mereka berdua bersepeda ke kota Crema, Elio akhirnya memberanikan diri untuk memecah keheningan. 


"Apakah kau pernah merasa... sulit mengungkapkan sesuatu yang penting?" tanyanya dengan gugup, matanya terpaku pada jalan setapak di depannya.


Oliver tertawa kecil. "Seperti sekarang?" Ia menoleh ke arah Elio, seolah-olah membaca setiap pikiran yang terlintas di benaknya.


"Ya," gumam Elio. Ia berhenti mengayuh, napasnya tercekat di tenggorokan. 


"Aku... merasa ada sesuatu di antara kita."


Oliver terdiam. Udara di sekeliling mereka tiba-tiba terasa berat, seperti awan yang menumpuk sebelum badai datang. 


"Elio," katanya perlahan, "aku suka kau. Tapi ini bukan sesuatu yang mudah."


---


Hubungan mereka berlanjut dengan penuh kerahasiaan, penuh kebahagiaan, dan juga keraguan. 


Di malam yang hangat, mereka berbagi ciuman pertama di bawah langit berbintang.


Mereka berbaring di atas ranjang, berbagi selimut tanpa busana. 


Elio melihat sangat dekat lekuk tubuh Oliver, memegang perutnya yang bergelombang, sesekali juga meremas lengannya yang kokoh.


“Kamu suka?” tanya Oliver.


Elio mengangguk pelan, malam itu Elio tenggelam dalam kebahagiaan, dekapan Oliver adalah dahaga hasrat yang selama ini ia dambakan.


Namun, di balik kebahagiaan itu, ada bayangan perpisahan yang terus membayangi mereka. 


Oliver tidak bisa tinggal selamanya; ia harus kembali ke Amerika, dan Elio tahu itu.


Di minggu terakhir sebelum Oliver pergi, mereka mendaki bukit di luar vila, duduk di bawah pohon besar yang menghadap ke lembah. 


"Aku tidak ingin ini berakhir," kata Elio dengan suara yang hampir patah.


Oliver memegang tangan Elio. 


"Kita tidak bisa melawan waktu, Elio. Apa yang kita miliki ini akan selalu menjadi bagian dari kita. Tapi aku harus pergi."


Malam itu, Elio menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Vila yang biasanya penuh kehangatan kini terasa dingin dan sunyi. 


Esok harinya, ia hanya bisa berdiri di kejauhan saat Oliver masuk ke dalam taksi dan melambai untuk terakhir kalinya.


---


Musim dingin tiba, menggantikan panasnya musim panas. Di depan perapian, Elio merenungkan setiap momen yang ia habiskan bersama Oliver. 


Air matanya jatuh, namun ada senyum tipis di wajahnya. 


Cinta yang ia alami, meskipun singkat, telah mengajarinya arti keberanian dan kejujuran terhadap dirinya sendiri.


Di luar, salju pertama mulai turun, menutupi vila dengan selimut putih. 


Namun, di dalam hati Elio, musim panas itu akan selalu hidup, bersama kenangan tentang pria yang pernah ia cintai.



Posting Komentar untuk "Selimut Hangat Bersama Oliver | Cerita Pelangi"