Senyap di Tengah Keramaian | Cerita Pelangi
Di tengah keramaian kota Singapura, sebuah apartemen kecil di lantai lima menjadi tempat pertemuan dua jiwa yang saling mencintai namun terbentur oleh norma.
Boy, seorang remaja berusia 17 tahun, menatap kosong keluar jendela kamar.
Di belakangnya, Man, seorang pria berusia 40 tahun, menyeduh kopi dengan tenang.
Suara desisan air panas dari kettle terasa begitu bising di tengah keheningan di antara mereka.
"Boy," panggil Man, dengan nada pelan namun penuh arti.
Boy menoleh, namun tidak berkata apa-apa. Tatapannya kosong, menahan sesuatu yang sulit diungkapkan.
Apartemen Man selalu menjadi tempat perlindungan bagi Boy.
Dindingnya berwarna abu-abu lembut, dengan sofa cokelat tua yang sudah usang tetapi nyaman.
Di sudut ruangan terdapat piano tua yang jarang dimainkan, simbol heningnya hubungan mereka.
Boy sering datang ke sini untuk melarikan diri dari ibunya, seorang wanita yang kesepian namun penuh kasih, yang tidak pernah benar-benar memahami putranya.
-00-
Hari itu, keheningan mereka pecah ketika ibu Boy, seorang wanita paruh baya bernama Madam Lim, mengetuk pintu apartemen.
Pukulannya pelan tetapi memaksa, seperti hatinya yang penuh kegundahan.
Man yang membuka pintu, hanya untuk mendapati wajah Madam Lim yang dingin dan penuh pertanyaan.
“Aku tahu Boy ada di sini,” katanya tegas, matanya menatap lurus ke dalam ruangan.
Man tidak menjawab, hanya melangkah ke samping. Boy muncul dari sudut ruang tamu, wajahnya pucat.
Dia tahu konfrontasi ini akan datang, tetapi tidak menyangka secepat ini.
“Kenapa kau terus ke sini, Boy?” tanya Madam Lim, suaranya bergetar antara marah dan sedih.
“Dia bukan tempatmu. Keluarga adalah tempatmu.”
Boy menggigit bibirnya, mencari kata-kata yang tidak kunjung datang.
Man berdiri di sisi lain ruangan, merasa terpojok. Dia mencintai Boy, tetapi tahu cinta mereka adalah sesuatu yang sulit diterima.
Dia ingin berbicara, tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakan.
-00-
Malam itu menjadi awal dari retaknya hubungan mereka. Setelah Madam Lim pergi, Boy duduk di sofa, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin.
Dia memandang Man, tetapi tidak berani menatap terlalu lama.
“Aku harus pergi,” ucap Boy akhirnya, suaranya serak.
Man menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. “Apa kau yakin?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.
Boy mengangguk. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak tahu siapa diriku lagi.”
Man tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, membiarkan Boy melewati pintu untuk terakhir kalinya.
-00-
Boy kembali ke rumah ibunya, mencoba membangun kembali jembatan yang hampir runtuh di antara mereka.
Madam Lim tidak banyak bicara, tetapi kehadirannya cukup untuk mengisi kekosongan di dalam hati Boy.
Namun, di malam-malam yang sunyi, Boy masih memikirkan Man dan apartemen kecil itu, tempat di mana dia pernah merasa bebas, meskipun hanya sesaat.
Sementara itu, Man tetap di apartemennya, menatap piano tua di sudut ruangan.
Dia mencoba memainkan beberapa nada, tetapi suaranya terasa hampa tanpa Boy di sana.
Kisah mereka berakhir dalam kesenyapan, seperti cinta mereka yang hanya hidup dalam keheningan, di tengah kota yang terus bergerak tanpa henti.
Cinta mereka tidak mati; ia hanya terkubur di bawah beban norma dan harapan. Dalam keheningan masing-masing, mereka belajar untuk mencintai dalam cara yang berbeda, meskipun tidak bersama.
Posting Komentar untuk "Senyap di Tengah Keramaian | Cerita Pelangi"