Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kenapa Hingga Sekarang Aku Belum Menikah?


Renungan di Ujung Kolam

Langit mendung menggantung berat di atas kota. Awan-awan kelabu menggulung perlahan, seolah menyimpan hujan yang enggan jatuh. Di kejauhan, menara-menara dan atap rumah membentuk siluet yang samar dibalut kabut tipis sore hari. 

Udara terasa lembab, menyelimuti kulit seperti selimut tipis yang dingin. Di tepi kolam renang yang tenang di atas sebuah gedung bertingkat, Alfian duduk setengah tenggelam. 

Air menyentuh pahanya, diam tak beriak, memantulkan bayangan samar tubuhnya yang basah dan berotot.

Tubuh Alfian tampak kokoh, dada bidang dan perutnya berbaris dengan otot yang terlatih. Tidak terlalu besar, tetapi jelas terjaga. Tetesan air masih menempel di kulit sawo matang yang kontras dengan celana pendek renang hitam yang ia kenakan. 

Rambutnya basah, berdiri tak beraturan, menambah kesan lelah dan pikiran yang penuh. Ia memandang lurus ke depan, menembus cakrawala kota, tetapi pikirannya tidak berada di sana.

Hari ini, Alfian genap berusia tiga puluh tahun. Tidak ada pesta, tidak ada ucapan selamat ulang tahun yang hangat. 

Hanya dirinya sendiri dan kolam di atap hotel kecil tempat ia menginap untuk melarikan diri dari rutinitas.

"Aku tiga puluh… dan masih sendiri," gumamnya pelan.

Satu helaan napas panjang keluar dari hidungnya. Ia tidak menyesali status lajangnya, tapi ia juga tidak bisa menjelaskan kenapa hatinya selalu dingin setiap kali berbicara tentang hubungan, apalagi pernikahan. 

Banyak yang bertanya, bahkan menuduhnya terlalu pemilih, atau terlalu fokus pada karier. Tapi mereka tidak tahu. Mereka tidak melihat luka lama yang membekas dalam dirinya.

16 tahun yang lalu

"Aku sudah bilang, jangan pernah bawa perempuan itu ke rumah ini lagi!" suara ibunya menggelegar di ruang tamu. 

Alfian, saat itu masih remaja, berdiri di balik pintu kamar, diam-diam mengintip dengan jantung berdegup kencang.

"Dia lebih menghargai aku daripada kamu!" balas ayahnya, membanting pintu dan berjalan keluar rumah.

Ibunya terduduk di sofa, menangis terisak-isak. Tangannya gemetar saat menyeka air mata. Alfian ingin berlari memeluknya, tapi tubuhnya terlalu kaku, terlalu takut untuk bergerak. 

Malam itu, keheningan menggantikan teriakan. Tapi luka yang tertanam di hati Alfian jauh lebih berisik.

-00-

Sejak malam itu, Alfian tak pernah bisa melihat pernikahan sebagai sesuatu yang indah. Ia menyaksikan sendiri bagaimana cinta berubah menjadi amarah, bagaimana janji tinggal puing-puing. 

Ia masih ingat bagaimana ibunya menangis setiap malam di kamar, atau bagaimana ayahnya perlahan menghilang dari hidup mereka, muncul hanya sesekali dengan wajah yang pura-pura penuh penyesalan.

"Aku gak bisa," katanya lirih, sambil menggenggam tangan sendiri. "Gak bisa bayangin diriku percaya lagi pada hal itu."

Padahal dulu sempat ada yang mencoba. Namanya Rani. Gadis sederhana dengan senyum yang menenangkan. Mereka bertemu di kantor, dan selama beberapa bulan Alfian mencoba membuka dirinya. 

Tapi setiap kali hubungan mulai serius, setiap kali Rani mulai berbicara tentang masa depan, ketakutan itu kembali.

5 tahun yang lalu

"Alfian, kamu kenapa sih selalu ngeles setiap kali aku bahas soal kita ke jenjang lebih serius?" Rani bertanya dengan nada pelan tapi tegas.

Alfian menunduk, memainkan ujung lengan kemejanya. "Aku... aku belum siap."

"Belum siap atau memang gak percaya sama yang namanya hubungan?" tanya Rani lagi, kini mulai gemetar.

Ia tidak menjawab. Hening. Rani tahu, dan akhirnya menyerah. Setelah malam itu, ia tak pernah kembali.

-00-

Kilatan petir menyambar jauh di langit, menyusul gemuruh yang lambat dan berat. Hujan belum turun, tapi udara terasa semakin berat. Alfian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. 

Dingin air kolam dan dingin kenangan masa lalu bertubrukan dalam dadanya.

Ia tidak benci cinta. Ia iri. Melihat pasangan tertawa bersama di jalan, mendengar teman-temannya berbagi cerita tentang rumah tangga, tentang anak-anak... ada rasa ingin di hatinya. Tapi luka itu seperti belenggu. Ia merasa tidak layak memberi cinta karena ia sendiri belum sembuh.

"Apa aku akan seperti ini terus?" tanyanya kepada langit yang mulai kelabu. "Apa ada orang yang bisa terima aku yang rusak begini?"

Tiba-tiba tetes pertama jatuh. Hujan. Tidak deras, tapi cukup untuk menyapu keheningan. Alfian menatap langit, membiarkan air membasahi wajahnya yang sudah lembap sejak tadi—entah karena air kolam atau sesuatu yang lain.

Ia tahu, menyembuhkan diri bukan proses yang instan. Tapi mungkin, sore ini, dengan hujan sebagai saksi, ia bisa mulai. Bukan untuk mencari pasangan. Bukan untuk memaksakan diri menjalin hubungan. Tapi untuk berdamai. Dengan masa lalu, dengan dirinya sendiri.

Ia bangkit dari tepi kolam, membiarkan air mengalir dari tubuhnya ke permukaan ubin. Langkahnya pelan, tapi pasti. Meninggalkan kenangan, meninggalkan rasa takut. Mungkin tidak semua luka bisa hilang. Tapi ia bisa belajar hidup dengan bekasnya.

Dan siapa tahu? Suatu hari nanti, saat hujan lain turun, ia akan duduk di tempat yang sama—bukan lagi sendiri, tapi dengan hati yang lebih ringan.



Posting Komentar untuk "Kenapa Hingga Sekarang Aku Belum Menikah?"