Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kini Aku Menjadi Idola Warga Desa | Cerita Rasa

"Api di Dada, Asap di Langit Desa"

Angin desa selalu punya aroma yang tak bisa kutemui di kota. Ia membawa wangi tanah basah, rerumputan liar, dan asap dapur yang berbaur dengan rempah-rempah. Dan pagi ini, saat ayam jago belum genap tiga kali berkokok, aku sudah duduk di dapur rumah nenek, menata kayu bakar, siap menghidupkan api yang bukan cuma untuk memasak, tapi juga untuk menyulut kembali kenangan lama.

Namaku Arga, anak bungsu yang pulang setelah dua tahun terjebak dalam pusaran beton dan deadline. Di kota, aku dikenal sebagai chef muda yang sedang naik daun. 

Tapi di desa, aku hanyalah cucu dari Mbah Karti, bocah yang dulu suka mengejar capung di sawah dan mengintip nenek mengulek bumbu di dapur.

Kini, tubuhku tak lagi kurus seperti dulu. Hasil latihan di gym membentuk dada dan lengan yang cukup membuat para tetangga berbisik-bisik geli. 

“Mas Arga sekarang kayak artis,” begitu kata Bu Jum, tetangga depan yang tak pernah lupa membawakan jajanan pasar tiap kali aku mudik.

Dapur nenek masih sama—dindingnya menghitam, langit-langit anyaman bambu, dan tungku tanah liat yang setia menjadi saksi masakan-masakan penuh cinta. 

Aku jongkok di depan tungku, mengatur kayu, lalu menyalakan api perlahan. Suara api menyambar ujung kayu terdengar seperti bisikan yang menenangkan. 

Di atas tungku, panci besar sudah menunggu untuk diisi bahan gulai ayam kampung, resep turun-temurun dari keluarga kami.

Tak lama, satu per satu warga mulai berdatangan. Ada yang berpura-pura lewat, ada yang membawa bahan makanan, dan ada pula yang cuma ingin melihat. 

“Mas Arga, boleh saya belajar masak juga?” tanya Rina, anak Pak Kades, sambil tersenyum malu-malu. 

Rina manis, tak bisa disangkal. Tapi pandangannya seperti ingin membaca isi dadaku, seolah ingin tahu adakah ruang di sana untuknya.

Aku hanya tersenyum. 

“Boleh banget. Tapi awas ya, bumbunya harus diulek sampai halus, gak boleh pakai blender,” candaku.

Hari-hari berikutnya seperti sebuah pertunjukan. Warga desa mulai menjadikan aku bahan pembicaraan. Dari warung kopi hingga pos ronda, dari ibu-ibu pengajian sampai anak-anak remaja. 

“Mas Arga itu idaman, sudah ganteng, berbadan bagus, pandai masak, sopan pula.” 

Bahkan Pak RW sempat bercanda, “Kalau Mas Arga mau tinggal di sini, kita carikan istri paling cantik di desa.”

Tapi aku hanya bisa tertawa kecil. Bukan karena sombong, tapi karena aku tahu, hatiku sudah menetap di tempat lain. 

Di kota yang penuh hiruk-pikuk, ada seorang perempuan bernama Naya, yang setiap malam menungguku pulang dari dapur restoran, menyeduhkan teh hangat, dan mendengarkan cerita-ceritaku tanpa pernah bosan.

Sore itu, saat langit desa mulai berwarna oranye dan asap dari dapur melayang seperti tarian halus, aku berdiri di tengah warga yang berkumpul di pelataran. 

Masakan sudah matang. Hidangan siap disajikan. Tapi sebelum itu, aku tahu ada yang harus kusampaikan.

“Sebelum kita makan, saya ingin bilang sesuatu,” ujarku. 

Suara gemericik angin menyambut, dan mata-mata mulai menatapku dengan rasa ingin tahu. 

“Saya sangat bersyukur bisa pulang. Desa ini, dapur ini, dan kalian semua… adalah bagian dari hidup saya. Tapi… izinkan saya jujur. Saya sudah memiliki kekasih di kota. Namanya Naya. Kami sudah bersama selama dua tahun.”

Rina menunduk pelan. Aku bisa merasakan kekecewaan menggantung di udara, seolah waktu berhenti sesaat. 

Tapi aku lanjutkan, dengan nada yang lebih lembut. 

“Dia bukan hanya kekasih, tapi sahabat yang selalu mendukung mimpi-mimpi saya. Suatu hari, saya ingin memperkenalkannya pada kalian. Saya ingin dia tahu dari mana saya berasal. Dari desa yang sederhana, yang mengajarkan saya cinta, ketulusan, dan rasa syukur.”

Pak RW tersenyum bijak. “Arga, kamu sudah tumbuh jadi lelaki sejati. Jujur itu bukan kelemahan, tapi kekuatan.”

Malam itu, kami makan bersama. Gulai ayam kampung, sambal terasi, lalapan segar—semuanya terasa lebih nikmat. 

Bukan hanya karena bumbunya pas, tapi karena kehangatan hati yang membumbui tiap sendoknya. Tawa kembali terdengar, dan Rina pun akhirnya ikut tersenyum, meski masih malu-malu.

Aku duduk di pojok dapur, menatap api yang mulai mengecil. Di atas kepala, panci-panci menggantung seperti bintang tua yang setia. Dan di dadaku, ada api yang tetap menyala—api cinta yang membawaku pulang, dan akan membawaku kembali lagi, suatu hari nanti. 

Bukan sebagai idaman desa, tapi sebagai anak desa yang tak pernah lupa asal-usulnya.

Karena sejauh-jauhnya aku melangkah, rasa yang paling murni tetap berasal dari dapur ini—tempat cinta pertama dalam hidupku tak dimulai dari senyuman seseorang, tapi dari aroma bawang goreng dan kayu bakar yang menyatu di udara.


Posting Komentar untuk "Kini Aku Menjadi Idola Warga Desa | Cerita Rasa"