Sekamar dengan Tama (Bagian 2)
"Sekamar dengan Tama (Bagian 2)"
Oleh Avif
Orientasi akhirnya berakhir. Dua minggu penuh aktivitas padat, mental dan fisik dikuras habis-habisan, tapi aku merasa bersyukur.
Bukan hanya karena bisa melewatinya, tapi juga karena... Tama.
Sayangnya, setelah pembagian divisi diumumkan, kami tidak lagi sejalan. Aku ditempatkan di divisi Keuangan, sedangkan Tama masuk ke Operasional.
Jam kerja kami akan berbeda, begitu juga lokasi kantor cabangnya. Rasanya seperti ditarik paksa dari zona nyaman yang baru saja kutemukan.
Sore itu, saat kami berkemas dari asrama orientasi, aku memberanikan diri membuka percakapan yang sudah lama kupikirkan.
“Tam, nanti kamu udah ada rencana kos di mana?”
Dia sedang melipat jaketnya, menoleh sekilas ke arahku.
“Belum sih, tapi aku ada list beberapa tempat deket kantor. Kenapa?”
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
“Kalau kamu belum fix, gimana kalau kita cari kos bareng? Maksudku, kosan yang bisa berdua gitu, biar kayak di sini.”
Tama terdiam sebentar. Raut wajahnya tidak berubah, tapi matanya seperti berpikir keras. Lalu dia menarik napas.
“Viv, gue pengen banget tinggal di tempat yang nyaman juga. Tapi kayaknya gue bakal cari kamar sendiri.”
Kalimat itu jatuh seperti embun di hati yang panas. Dingin, tapi juga menyakitkan.
“Oh… oke,” jawabku singkat, berusaha menahan kecewa yang mendadak menyergap. Aku mencoba tersenyum, tapi senyumku terasa plastik.
“Iya sih, kamar sendiri emang lebih enak...”
Tama duduk di kasurnya, menatapku lekat.
“Bukan karena gue nggak mau bareng lo. Serius, bukan itu.”
Aku hanya mengangguk pelan.
“Gue cuma... punya kebiasaan yang nggak semua orang nyaman. Lo juga udah liat sendiri. Gue kalau di kamar, ya paling cuma pake celana dalam. Tidur juga gitu. Gue nyaman banget kayak gitu, dan kalau sekamar berdua, gue jadi ngerasa harus jaga-jaga. Nggak bebas.”
Aku menunduk, senyumku memudar jadi leleh. Dalam hati, aku justru merasa sebaliknya—aku bahkan suka melihat Tama seperti itu. Tapi tentu saja aku tidak bisa mengatakannya.
Tama melanjutkan, lebih pelan.
“Gue juga nggak pengen lo jadi nggak nyaman. Tapi gini deh, gimana kalau kita tetap satu kompleks kos? Gue punya satu tempat yang bagus, kamarnya pisah tapi satu area. Kita masih bisa bareng ke kantor, makan bareng, atau kalau lo butuh bantuan.”
Mataku langsung menatapnya lagi. Ada harapan kecil yang menyala.
“Satu kompleks?”
“Iya. Jadi lo punya ruang sendiri, gue juga. Tapi kita tetap deket. Gimana?”
Aku mengangguk cepat.
“Mau! Gue mau!”
Tama tertawa kecil, menepuk pundakku.
“Tenang aja, Viv. Gue suka lo sebagai teman. Lo orangnya asik dan bisa diandalkan. Tapi ada beberapa hal yang gue butuh sendiri. Bukan karena lo, tapi karena gue.”
Aku menelan ludah, lalu berkata pelan, “Kalau soal kebiasaan lo... gue sebenarnya nggak masalah, Tam. Malah... ya, gue ngerti. Gue nyaman juga sih.”
Dia mengangguk pelan, seolah memahami maksud yang lebih dalam dari kata-kataku.
Sore itu kami pergi bersama ke kos yang dia maksud. Benar saja, kompleksnya bersih, rapi, dan nyaman. Kami dapat kamar yang hanya terpaut satu pintu.
Dan meskipun kami tidak lagi berbagi ruang tidur yang sama, ada kenyamanan baru yang tumbuh—kenyamanan karena tahu dia masih dekat. Bahwa aku bisa mengetuk pintunya kapan saja.
Sejak hari itu, Tama tetap Tama yang sama. Tetap dengan tubuh atletisnya yang membuatku kagum, dengan suara beratnya yang menenangkan, dan dengan perhatian kecilnya yang membuatku merasa... dihargai.
Kadang aku masih overthinking—apa mungkin dia sebenarnya ingin menjauh? Apa mungkin aku terlalu berharap banyak dari kedekatan ini?
Tapi setiap kali aku melihat senyum kecilnya saat menyapa di pagi hari, atau mendengar suaranya memanggil,
“Viv, udah makan belum?” dari balik pintu, aku tahu: Tama tidak pergi.
Dan aku masih punya tempat kecil di dunianya.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 2)"