Sekamar dengan Tama (Bagian 3)
"Sekamar dengan Tama (Bagian 3)"
Oleh Avif
Hari-hari berlalu cepat. Rutinitas kerja mulai menyita banyak waktu dan energi. Karena aku bekerja jam kantor biasa, sedangkan Tama masuk shift—kadang pagi, kadang malam—jadwal kami jarang cocok.
Dulu, kami hampir selalu bisa makan bareng, atau setidaknya ngobrol sore di depan kamar. Tapi sekarang... seringnya cuma dengar suara pintu dibuka atau langkah kaki melewati lorong kos.
Aku mulai merindukan hal-hal kecil. Obrolan sepele sebelum tidur, guyonan receh soal supervisor galak, atau bahkan cuma melihat punggungnya yang lebar itu saat dia melakukan stretching.
Sore itu, aku baru pulang dan sedang membuka laptop saat kudengar suara familiar dari lorong.
Tama.
Aku refleks berdiri dan sedikit mengintip dari pintu. Dia memang baru pulang, tapi ada yang berbeda. Di sebelahnya ada pria lain, seumuran kami, rambut cepak, kulit sawo matang.
Mereka bercanda, tertawa. Suara Tama yang biasanya hanya untukku, kini terdengar hangat ke orang lain.
Mereka masuk ke kamar Tama. Pintu tertutup.
Aku diam di balik pintu, tiba-tiba merasa... cemburu? Ah, bodoh.
Kenapa juga aku merasa seperti ini? Itu temannya, bukan milikku. Tapi pikiran-pikiran liar muncul begitu saja. Mereka ngapain di dalam? Ngobrol biasa? Atau lebih dari itu?
Malam harinya, saat aku belum sempat makan malam karena terlalu capek, aku mendengar suara pintu kamar Tama terbuka lagi.
Aku buru-buru ke jendela kecil di atas tempat tidur, mengintip sedikit. Mereka keluar. Berdua.
Dan Tama tidak mengajakku.
Sakitnya aneh. Seperti kehilangan sesuatu yang bahkan bukan milikku. Mungkin memang aku terlalu bergantung pada kehadirannya. Tapi sejak kapan aku merasa seperti ini?
Aku berbaring, menatap langit-langit kamar. Perasaan campur aduk. Kesepian, kecewa, dan... cemburu.
Ya, aku cemburu. Bukan karena dia punya teman baru, tapi karena aku merasa diganti. Dilupakan.
Hampir sejam aku melamun sampai akhirnya terdengar ketukan di pintu kamarku.
Tok tok tok.
Aku bergegas membuka.
Tama berdiri di depan pintu, mengenakan kaus hitam tipis dan celana pendek, seperti biasa. Di tangannya ada plastik putih yang cukup berat. Dia menyodorkannya padaku dengan senyum kecil.
“Gue beliin martabak. Masih anget. Yang lo suka, keju kacang,” katanya pelan.
Aku terdiam. Antara ingin marah dan ingin menangis. Tapi akhirnya aku hanya mengangguk dan mengambil plastik itu.
“Thanks,” ucapku pelan.
Dari balik bahunya, aku melihat temannya masih berdiri di depan pintu kamar Tama. Matanya sempat menoleh ke arahku, lalu kembali ke ponselnya.
Tama mengikuti arah pandangku dan cepat-cepat berkata, “Dia numpang nebeng makan aja, tadi abis lembur bareng. Capek katanya, jadi gue ajak mampir.”
Aku mengangguk lagi, masih tak tahu harus berkata apa.
“Lo belum makan, kan?” tanya Tama, menatapku lekat. “Maaf ya tadi nggak ngajak. Gue kira lo masih di kantor. Gue lupa ngecek HP.”
Aku menggeleng pelan. “Nggak apa-apa.”
Tama tersenyum lagi, lebih hangat.
“Besok lo kosong, kan? Kita jalan, yuk. Udah lama nggak ngopi bareng. Gue off shift.”
Hatiku yang sempat retak, perlahan-lahan kembali utuh.
“Oke,” jawabku singkat. Dalam hati, ada bagian kecil yang bersorak pelan.
Tama mengangguk, lalu melangkah kembali ke kamarnya. Temannya menyapanya pelan, dan mereka masuk. Pintu kamar tertutup kembali.
Aku masuk ke kamarku, duduk di tepi tempat tidur, membuka plastik martabak. Aroma manis langsung memenuhi ruang sempit ini. Aku tersenyum kecil.
Dia belum lupa.
Mungkin Tama memang tak menunjukkan semuanya secara eksplisit, tapi dia tahu. Dia tahu bahwa aku menunggunya.
Bahwa martabak ini lebih dari sekadar camilan—ini adalah isyarat. Sebuah jembatan kecil yang masih menghubungkan kami, walau tak selalu bersama seperti dulu.
Dan aku akan menjaganya. Bahkan jika kami tidak lagi sekamar, bahkan jika dia punya teman baru, aku akan tetap di sini. Menunggu ketukan pintu itu. Menunggu Tama.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 3)"