Sekamar dengan Tama (Bagian 4)
"Sekamar dengan Tama (Bagian 4)"
Oleh Avif
Sebenarnya, aku sering memikirkan hal itu—keinginan sederhana untuk bisa tidur bareng lagi, walau cuma semalam.
Bukan karena tidak betah di kamarku sendiri, tapi lebih karena rindu akan kebersamaan saat orientasi dulu.
Waktu di mana aku bisa merasa dekat, benar-benar dekat, dengan Tama. Suara napasnya yang tenang di malam hari, aroma tubuhnya setelah mandi, dan obrolan santai sebelum tidur yang sering membuatku tertawa diam-diam.
Tapi aku nggak pernah berani bilang. Takut dianggap aneh. Atau lebih buruk, membuat Tama menjauh.
Dan Tama juga... tidak pernah menawari.
Sejak kami tinggal di kompleks kos ini, aku sudah jarang melihat Tama hanya mengenakan celana dalam seperti dulu.
Entah karena ia mulai menjaga kebiasaannya, atau karena jadwal kami yang tak lagi sejalan. Sekarang, kalaupun aku beruntung melihatnya setelah mandi, ia hanya keluar sebentar dengan handuk yang melilit pinggang, berjalan cepat ke kamarnya.
Pemandangan itu langka. Tapi tiap kali melihatnya, ada rasa yang sulit dijelaskan—campuran nostalgia, kagum, dan rindu yang mendalam.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah Tama juga merindukan suasana dulu? Tidur bareng di kasur sempit, obrolan tengah malam, tawa tanpa beban?
Tiga hari belakangan, pintu kamar Tama terus tertutup. Tidak ada suara, tidak ada ketukan, tidak ada langkah kakinya di lorong.
Awalnya kupikir dia sedang sibuk shift malam. Tapi malam pun aku tak mendengar suara khasnya di lorong. Pagi juga sepi. Kamar itu gelap.
Hari keempat, rasa penasaran mendorongku menanyakan ke penjaga kos.
“Mas Tama lagi keluar kota, Mas. Dinas seminggu,” kata ibu kos sambil menyapu halaman.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Tapi hati terasa berat.
Kenapa dia tidak bilang?
Mungkin lupa. Atau mungkin merasa tidak perlu. Tapi entah kenapa, kesunyian kamar sebelah membuatku terus merasa ada yang hilang.
Biasanya, walau kami tak sering bertemu, keberadaan Tama selalu terasa. Suara pintu dibuka, suara air kran menyala, atau sekadar bunyi langkah kakinya di ubin.
Sekarang, hening. Seolah dunia di lorong ini berhenti berputar.
Aku duduk lama di depan laptop, tapi pikiranku terus melayang ke kamar sebelah. Kadang kupandangi pintunya lama-lama, berharap mendengar suara ketukan atau sapaan dari balik kayu itu.
Malamnya, aku menatap langit-langit kamar sambil menggenggam ponsel. Ingin sekali mengirim pesan.
"Tam, lo lagi di mana? Gue kangen suasana waktu kita masih sekamar..."
Tapi jempolku hanya menggantung di atas keyboard, tak pernah menekan tombol kirim. Aku hapus pesan itu. Lalu menatap layar kosong dalam gelap.
Aku merindukannya. Bukan hanya karena dia sahabat sekamarku. Tapi karena entah sejak kapan, Tama jadi pusat kecil dalam hari-hariku. Tanpa dia, ruang ini terasa sunyi. Kosong.
Mungkin aku terlalu bergantung.
Atau... mungkin ini bukan sekadar rasa nyaman lagi.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 4)"