Sekamar dengan Tama (Bagian 5)
"Sekamar dengan Tama (Bagian 5)"
Oleh Avif
Hari keenam tanpa Tama.
Aku mulai terbiasa dengan sunyi. Tapi bukan karena nyaman—lebih karena terpaksa. Kos ini tetap sama, dindingnya tetap krem pucat, suara burung di pagi hari masih nyaring, tapi ada bagian dari rutinitasku yang hilang. Suara Tama, kehadirannya, bahkan aromanya yang biasanya samar tercium saat ia lewat... lenyap.
Kadang, saat keluar dari kamar, aku masih refleks menoleh ke pintunya, berharap ada tanda-tanda kehidupan. Tapi tetap, pintu itu tertutup rapat, tak bergeming.
Hari ketujuh. Aku pulang kerja lebih awal karena ada sistem yang error. Sampai di kos, aku berjalan lambat melewati kamarnya, dan... aku terhenti.
Sepatu hitamnya ada di depan pintu.
Aku menelan ludah. Hati tiba-tiba berdetak lebih cepat. Dia pulang.
Tanpa pikir panjang, aku masuk ke kamarku, menaruh tas, dan duduk di ujung ranjang. Menunggu. Menunggu suara, ketukan, atau apapun.
Tapi tidak ada.
Beberapa menit berlalu, aku akhirnya memberanikan diri keluar. Mengetuk pintu kamarnya pelan.
Tok... tok... tok...
Butuh beberapa detik sebelum pintu terbuka. Dan di sana dia berdiri—Tama, dengan rambut agak acak karena belum disisir, mata sedikit sayu, mengenakan tank top abu-abu dan celana pendek tidur.
“Avif?” suaranya rendah, sedikit serak. “Baru pulang kerja?”
Aku mengangguk. “Lo baru balik ya?”
“Iya, tadi siang. Capek banget,” katanya, lalu menyandarkan bahunya di kusen pintu.
Untuk beberapa detik kami hanya saling menatap. Hening. Tapi anehnya... nyaman.
“Ada yang lo kangenin dari kos ini?” tanyaku tiba-tiba, berusaha santai.
Tama tertawa kecil. “Kamar sempit yang nggak pernah dingin walau AC nyala? Kayaknya enggak, deh.”
Aku ikut tertawa, walau sedikit dipaksakan.
“Lo sendiri?” tanyanya lagi, mencondongkan tubuh sedikit. “Gimana kerjaan? Masih survive?”
Aku mengangguk. “Masih. Tapi... jujur, seminggu ini sepi banget.”
Tatapan Tama sedikit berubah. Lembut. Hangat.
“Gue juga ngerasa gitu,” katanya lirih.
Dadaku bergetar. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Untungnya, Tama kembali bersuara.
“Eh, malam ini lo kosong?” tanyanya.
“Iya. Kenapa?”
“Gue masih jetlag. Gak bisa tidur kalau sendirian. Lo... mau nemenin gue tidur di kamar gue? Sekali ini aja, nostalgia kayak dulu.”
Aku hampir tak bisa menyembunyikan senyumku.
“Boleh,” jawabku pelan, berusaha tak terdengar terlalu antusias. “Gue juga... kangen.”
Tama hanya tersenyum, lalu membuka pintunya lebih lebar. “Masuk aja. Gue siapin kasur lipat biar gak sempit.”
Aku melangkah masuk. Aroma kamar yang familiar langsung menyambutku. Campuran sabun mandi, parfum, dan sesuatu yang hanya dimiliki Tama.
Malam itu, kami tidur berdampingan. Tanpa banyak kata. Hanya suara kipas angin dan napas pelan yang bergantian terdengar. Dan untuk pertama kalinya setelah seminggu, aku merasa utuh lagi.
Tama tak menyentuhku, tak memelukku. Tapi kehadirannya cukup. Lebih dari cukup.
Dan di antara detak jantung yang mulai tenang, aku tahu—perasaanku pada Tama bukan lagi tentang sekadar kenyamanan. Ini lebih dari itu.
Tapi untuk saat ini, aku cukup. Karena dia di sini. Di sisiku.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 5)"