Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sekamar dengan Tama (Bagian 6)


"Sekamar dengan Tama (Bagian 6)"

Oleh Avif

Malam itu kami tidur dalam satu ruangan. Seperti dulu.

Lampu dimatikan, hanya remang dari cahaya luar yang masuk lewat jendela kecil. Di antara keheningan itu, aku bisa mendengar napas Tama yang mulai stabil. Dia tidur lebih dulu, posisinya miring membelakangiku. Aku berbaring di kasur lipat, hanya beberapa jengkal dari kasur utamanya.

Tapi mata ini tak bisa terpejam. Rasanya... terlalu berdebar. Terlalu sadar akan jarak di antara kami. Terlalu sadar akan kehadirannya yang selama seminggu ini begitu kurindukan.

Aku menoleh, menatap punggungnya yang kokoh dalam bayangan. Terpikir untuk mendekat. Hanya sedikit. Mungkin menyentuh selimutnya. Atau bahkan menyentuh dia. Tapi aku takut. Bukan takut ditolak—tapi takut kehilangan.

Jadi aku tetap diam. Tapi tidak berhenti berharap.


Pagi-pagi sekali, aku terbangun lebih dulu. Tama masih tertidur, napasnya pelan. Wajahnya terlihat damai dalam tidur. Cahaya pagi mulai menyentuh kulitnya, membuat garis wajahnya terlihat lebih lembut dari biasanya.

Aku diam-diam mengambil ponsel dan pura-pura bermain, padahal hanya ingin menunggu dia bangun. Lalu, seolah semesta mendengar keinginanku, dia menggeliat perlahan.

“Pagi...” suaranya serak, berat.

“Pagi, Tam,” jawabku cepat, terlalu cepat mungkin.

Dia mengucek mata, lalu tersenyum setengah sadar. “Tidur enak?”

Aku mengangguk. “Lebih nyenyak daripada biasanya.”

Tama bangkit perlahan, duduk di pinggir tempat tidur, lalu melirikku. “Gue juga. Udah lama gak tidur bareng, ya?”

Aku menahan senyum. Itu kalimat sederhana, tapi buatku terasa seperti embun di padang kering.

“Kalau lo gak keberatan,” ucapku hati-hati, “kapan-kapan gue bisa tidur di sini lagi.”

Tama hanya menatapku sebentar, lalu tersenyum. “Boleh aja.”


Hari-hari berikutnya, aku mulai memberanikan diri. Pelan-pelan, tapi jelas.

Aku mulai lebih sering mampir ke kamarnya, kadang tanpa alasan. Membawa camilan kecil, pura-pura ingin numpang nonton film, atau sekadar ingin duduk dan ngobrol.

Aku mulai lebih sering memuji. Awalnya ringan. “Lo makin fit, ya. Latihan terus?” Atau “Kaus lo bagus. Pas banget di badan lo.” Dan saat dia hanya tersenyum atau tertawa pendek, aku selalu mencari makna tersembunyi di baliknya.

Kadang aku duduk lebih dekat dari biasanya. Sengaja biar lutut kami bersentuhan sedikit. Kalau dia tak bergeser, hatiku menghangat. Tapi kalau dia bergerak menjauh, aku pura-pura tak sadar.

Puncaknya, malam itu kami nonton film bareng di kamarnya. Film thriller lama, tapi suasananya cukup intens. Saat ada adegan mengejutkan, aku refleks menepuk lengannya.

“Wah, gila... itu bikin jantung copot!” kataku sambil menatapnya.

Dia tertawa, lalu melirikku. “Lo gampang kaget ya.”

“Gue emang butuh yang nenangin,” ucapku, mencoba terdengar main-main tapi berharap dia tangkap lapisan lain dalam kata-kataku.

Tama hanya tersenyum, tapi kali ini lebih lama menatapku.

Setelah film selesai, kami diam beberapa saat. Hening, tapi tidak canggung.

“Tam...” aku berkata pelan.

Dia menoleh. “Hm?”

“Lo pernah gak... ngerasa deket banget sama seseorang, tapi bingung nunjukinnya?”

Tama mengernyit, tapi tidak langsung menjawab. Lalu dia berkata pelan, “Pernah. Tapi kadang... kalau orang itu cukup peka, gak perlu dijelasin.”

Aku menatapnya. Jantungku berdebar. Kalimat itu bisa berarti apa saja. Tapi aku memilih percaya pada harapanku.

“Kalau gitu... gue harap lo cukup peka juga.”

Dan untuk sesaat, tak ada yang bicara. Tapi sorot matanya berubah. Lebih dalam. Lebih lama. Dan walau tak ada pelukan atau kata cinta, aku merasa... mungkin, hanya mungkin, sinyalku sampai.

Dan itu sudah cukup untuk malam ini.

Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 6)"