Sekamar dengan Tama (Bagian 7)
"Sekamar dengan Tama (Bagian 7)"
Oleh Avif
Butuh waktu berminggu-minggu untuk mengumpulkan keberanian ini.
Setiap kali duduk berdua di kamarnya, atau ketika dia hanya mengenakan tank top dan bercanda ringan seolah semuanya biasa saja—aku tahu, ada yang tak biasa dalam diriku. Dan rasa itu tumbuh, makin besar, makin sulit dibendung.
Malam itu, aku tak ingin menundanya lagi.
Aku datang ke kamarnya saat ia baru selesai mandi. Rambutnya masih basah, tubuhnya berkilau sedikit karena sisa air, dan ia hanya mengenakan celana pendek tanpa atasan. Dulu pemandangan ini terasa biasa saat kami sekamar, tapi sekarang... semuanya terasa lain. Terlalu memikat untuk tidak mengakuinya.
Dia sedang menyeka rambutnya dengan handuk kecil ketika aku masuk.
“Lo gak biasanya malam-malam begini nongol tanpa nenteng martabak,” katanya, setengah bercanda.
Aku tertawa kecil, gugup. “Gue gak lagi bawa apa-apa, tapi... ada yang pengin gue omongin.”
Tama menurunkan handuknya. “Serius amat.”
Aku duduk di sisi kasurnya, menunduk sebentar, lalu menatap matanya.
“Gue nyaman banget sama lo, Tam. Dari awal kita sekamar, lo bikin gue ngerasa aman, diterima. Dan makin lama, makin kuat rasa itu... Gue gak yakin ini cuma sekadar nyaman biasa.”
Tama menatapku dalam-dalam. Tak ada ekspresi terkejut, tak ada gerakan menjauh. Ia hanya diam, seperti sudah menebak semuanya.
“Apa lo suka sama gue, Avif?”
Pertanyaan itu lurus. Tenang. Tapi di dalam kepalaku, suara itu menggema ribuan kali.
Aku mengangguk pelan.
“Gue gak tahu ini cinta atau apa... Tapi gue tahu, kalau lo gak ada, gue ngerasa kosong. Dan tiap kali deket lo, rasanya... kayak pulang.”
Tama menarik napas panjang, lalu duduk di sisi ranjang, agak menyamping menghadapku.
“Avif,” ucapnya lembut. “Gue seneng lo jujur. Tapi gue juga pengin lo tenangin dulu pikiran lo.”
Aku diam. Nafasku sesak.
“Rasa nyaman itu bisa muncul sama siapa aja. Termasuk sesama cowok. Itu gak aneh, gak salah. Apalagi lo ngelewatin banyak momen bareng gue, sekamar, ngobrol larut malam... Wajar banget kalau lo ngerasa terikat.”
Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan,
“Tapi perasaan nyaman itu gak selalu berarti cinta. Kadang kita keliru. Kadang kita cuma pengin terus merasa aman, dan siapa pun yang ngasih rasa itu... jadi tempat kita bersandar.”
Aku menggigit bibir bawahku, menahan sesuatu yang mengganjal di dada.
“Jadi... lo gak ngerasa hal yang sama?” tanyaku pelan.
Tama menggeleng, tapi bukan dengan cara menyakitkan. Ia menunduk sebentar sebelum kembali menatapku.
“Dari awal gue udah bisa baca... ada sesuatu dari cara lo ngelihat gue. Gue gak ngejauhin, karena gue gak keberatan. Tapi gue juga gak pengin ngasih harapan. Gue tetap anggap lo temen, bahkan lebih dari temen. Lo bagian penting dari hidup gue sekarang.”
Dia menaruh tangannya di bahuku. Hangat. Tegas. Tapi juga penuh empati.
“Gue cuma gak pengin lo tersesat di rasa yang mungkin datang karena lo sendirian, butuh sandaran. Gue gak pengin lo nyakitin diri sendiri karena lo salah baca rasa itu.”
Aku mengangguk perlahan. Ada bagian dari hatiku yang runtuh. Tapi juga... ada ketenangan aneh dalam penolakan yang lembut ini. Tama tidak menjauh. Tidak mengusir. Tidak jijik atau marah.
Ia tetap Tama. Tetap jadi tempatku pulang—meski bukan dalam bentuk cinta seperti yang aku harapkan.
“Kalau ternyata gue tetap gak bisa ngelepas rasa ini?” tanyaku, suara hampir hilang.
“Gue akan tetap ada,” katanya pelan.
“Tapi lo harus janji, jangan biarkan rasa itu bikin lo kehilangan diri lo sendiri.”
Aku menunduk, merasa dadaku sesak, tapi juga... lega.
Malam itu, aku tidur di kamarku sendiri. Sendirian. Tapi berbeda dari malam-malam sebelumnya, aku tidak merasa sepi.
Karena akhirnya aku jujur. Dan karena Tama—dengan segala tenangnya—tetap jadi orang yang aku kagumi.
Bukan karena dia sempurna. Tapi karena dia mampu mendengarkan perasaanku, tanpa membuatku merasa kecil.
Dan itu, bagiku, lebih berharga dari cinta yang tak mungkin kumiliki.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 7)"