Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sekamar dengan Tama (Bagian 8)


"Sekamar dengan Tama (Bagian 8)"
Oleh Avif

Malam itu aku kembali ke kamarku. Duduk di ranjang, menatap kosong ke dinding.

Aku sudah bicara. Sudah jujur. Dan Tama... meresponsnya dengan tenang, dewasa, tanpa menyakitiku. Tapi justru itu yang membuat semuanya semakin berat.

Karena aku sadar—aku gak hanya nyaman. Aku gak cuma butuh rasa aman. Aku ingin dia. Ingin memilikinya. Ingin menjadikan Tama sebagai sesuatu yang bisa kupeluk setiap malam, bukan hanya secara fisik, tapi dalam arti yang lebih dalam.

Aku menatap langit-langit kamar yang pucat. Lalu berdiri. Dan tanpa pikir panjang, aku kembali ke kamarnya. Tidak mengetuk. Hanya mendorong pintu perlahan.

Tama masih duduk di ranjang, punggung bersandar di dinding, mengenakan kaus putih longgar dan celana pendek, rambutnya mulai kering, dan mata itu langsung menatapku ketika aku masuk.

“Avif?”

Aku tidak bicara. Langkahku pelan, berat. Sampai aku berdiri di hadapannya, lalu duduk di tepi kasur.

“Gue tahu gue gak bisa minta lebih, Tam,” kataku pelan. “Tapi... boleh gue minta satu hal aja?”

Dia mengangguk. “Apa?”

Aku menarik napas panjang, suaraku nyaris bergetar.

“Boleh gue peluk lo?”

Untuk sesaat, dia hanya diam. Tapi kemudian dia menggeser duduknya, menurunkan kakinya ke lantai. Lalu membuka kedua lengannya pelan.

“Ke sini.”

Dan aku jatuh ke dalam pelukan itu.

Lengannya hangat, kokoh, membungkusku dengan cara yang selama ini hanya bisa aku bayangkan dalam mimpi-mimpi yang diam.

Tubuhku menempel pada tubuhnya. Kulit kami bersentuhan. Tapi yang paling terasa... adalah keheningan di antara detak jantungku yang terlalu keras.

Aku tak tahu berapa lama aku memeluknya, tapi dalam pelukan itu, ada yang runtuh. Ada yang pecah dari dalam dada. Dan tiba-tiba... aku menangis.

Bukan meraung. Tapi air mata itu jatuh perlahan, hangat, menelusuri pipi tanpa bisa kucegah.

Tama diam saja. Tak bergerak. Tapi dia tidak melepasku. Tidak menarik diri. Bahkan satu tangannya mengusap pelan punggungku.

“Gue kira gue cuma nyaman,” kataku pelan, suara parau, nyaris tak terdengar. 

“Tapi ternyata... gue pengin lo. Gue pengin lo jadi milik gue, Tam. Itu yang bikin hati gue berat.”

Tama menarik napas panjang. Tapi tetap tak bicara.

Dan entah bagaimana... keheningan itu terasa benar. Tak perlu ada jawaban. Tak perlu ada penolakan yang kedua. Karena aku tahu—perasaan ini adalah milikku. Bukan bebannya.

Akhirnya aku melepaskan pelukan itu. Perlahan. Menatap matanya yang penuh pengertian.

Tama hanya berkata, lirih, “Terima kasih udah jujur, Avif.”

Aku mengangguk, menghapus air mata dengan punggung tangan, lalu berdiri. 

“Makasih... udah ngasih pelukan itu.”

Saat aku melangkah keluar, aku tahu—perasaanku tak akan hilang begitu saja. Tapi malam ini, aku belajar... bahwa rasa yang tak bisa dimiliki, tetap bisa dihargai.

Dan itu, untuk sementara, cukup.

Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama (Bagian 8)"