Sekamar dengan Tama
"Sekamar dengan Tama"
Oleh Avif
Kamar ini tidak besar. Dindingnya dicat warna krem pucat yang sedikit kusam, mungkin karena terlalu sering terpapar sinar matahari lewat jendela yang langsung menghadap timur.
Di pojok kanan berdiri lemari kayu tua dengan engsel yang berdecit saat dibuka. Kasur kami berdua dipisahkan oleh meja kecil yang hanya cukup untuk satu lampu tidur dan botol minum.
Tak ada AC, hanya kipas angin berdiri yang mendesis pelan seolah ikut mengamati kami. Inilah tempatku selama dua minggu ke depan, masa orientasi kerja setelah dinyatakan lulus seleksi perusahaan ini.
Namaku Avif, dan aku sekamar dengan Tama.
Aku tak bisa memilih sekamar dengan siapa. Katanya ini sistem acak. Dan entah kenapa, aku langsung sekamar dengan pria berwajah oriental, bersuara berat seperti penyiar radio, dan bertubuh atletis seperti atlet angkat besi.
Rambutnya selalu tertata rapi, dan ekspresi wajahnya... manly banget. Rasanya aku seperti remahan kerupuk di sebelah dia.
Sungguh, dia adalah paket lengkap intimidasi untukku, seorang fresh graduate yang masih kikuk dan minderan.
Tapi Tama ternyata jauh dari bayanganku. Dia baik. Sangat baik, malah.
Hari pertama kami masuk kamar, aku sibuk membereskan koper kecilku sementara dia membuka bajunya, hanya menyisakan celana dalam biru bertuliskan Liverpool di pinggangnya.
Aku sempat terdiam beberapa detik saat melihat punggungnya yang lebar dan otot-otot punggung yang terlihat jelas. Rasanya seperti sedang melihat iklan fitness center.
Aku cepat-cepat alihkan pandangan, pura-pura sibuk membuka tumpukan kaus kaki.
Tama melirikku dan tersenyum, seolah tahu aku canggung. "Santai aja, bro. Aku memang lebih nyaman nggak pake baju kalau di kamar," katanya dengan suara rendah yang dalam.
Aku hanya mengangguk sambil menunduk.
Malam itu, dia yang mulai membuka obrolan. Kami sama-sama baru lulus, sama-sama belum tahu bakal ditempatkan di divisi mana.
Hanya saja, Tama berasal dari Jakarta dan aku dari Yogyakarta. Dia lulusan teknik mesin, sementara aku ekonomi. Dua dunia yang berbeda, tapi malam itu kami seperti teman lama yang baru bertemu kembali.
Hari-hari berikutnya, aku makin mengenal Tama. Di balik tubuh kekarnya dan wajah cueknya itu, ternyata dia suka mengingatkan aku sarapan, ngajak jogging pagi, bahkan ngajarin cara mengatur waktu selama orientasi.
“Kalau kamu terlalu tegang, malah nggak bisa nyerap materinya,” katanya sambil menyodorkan minuman elektrolit di hari kedua kami berkeringat habis-habisan dalam sesi fisik.
Setiap malam, saat kami sama-sama rebahan di tempat tidur, dia kadang bercerita tentang keluarganya.
Tentang ayahnya yang keras, ibunya yang sabar, dan adiknya yang sedang kuliah juga.
Aku pun mulai terbuka, cerita tentang betapa bingungnya aku menghadapi dunia kerja, tentang perasaanku yang sering merasa tak cukup baik dibanding orang lain.
"Lo itu terlalu mikirin omongan orang, Viv," katanya suatu malam, sambil duduk di pinggir tempat tidurnya, punggungnya membelakangiku.
"Padahal, kadang orang bahkan nggak merhatiin kita sedetail itu."
Aku terdiam. Kalimatnya sederhana, tapi masuk tepat ke bagian dalam yang selama ini aku sembunyikan.
Setelah beberapa hari, aku mulai merasa nyaman berada di dekat Tama. Bukan hanya karena dia baik dan perhatian, tapi juga karena dia membuatku merasa... aman.
Setiap kali aku mulai merasa minder, Tama akan melontarkan sesuatu yang membuatku kembali percaya diri.
Kadang caranya sederhana, seperti memuji presentasiku atau memberiku tepukan di pundak saat aku selesai menjawab pertanyaan dari instruktur.
Sampai suatu malam, setelah sesi orientasi yang sangat melelahkan, kami berdua kembali ke kamar. Aku langsung jatuh di kasur, sementara Tama berdiri di depan cermin, membuka bajunya, dan mulai melakukan sedikit stretching.
Cahaya lampu kamar membentuk bayangan di punggungnya yang kekar. Aku mengamati gerakannya tanpa sadar, entah karena kekaguman atau hanya karena terlalu lelah untuk mengalihkan pandangan.
Tiba-tiba dia menoleh. "Ngeliatin apa, lo?" tanyanya sambil tertawa kecil.
Aku tersentak dan buru-buru berpaling. "Nggak, nggak liat apa-apa. Hehe."
Dia berjalan ke arah tempat tidurnya, duduk, dan menatapku dengan senyum simpul.
"Lo lucu ya. Gue kayaknya bisa temenan lama sama lo."
Aku hanya bisa tersenyum, tapi dalam hati terasa hangat. Untuk pertama kalinya sejak aku masuk dunia kerja ini, aku merasa diterima.
Di dunia yang keras dan penuh persaingan ini, aku punya satu orang yang melihatku bukan dari nilai IPK atau seberapa cepat aku menyerap materi, tapi sebagai teman.
Malam itu aku tidur dengan perasaan tenang. Tama, dengan segala kelebihannya, ternyata bukan untuk membuatku minder, tapi justru membantuku mengenali diriku sendiri. Dan di kamar sederhana ini, di antara dinding kusam dan kipas angin berderit, aku mulai percaya bahwa mungkin dunia kerja tidak akan seseram yang aku bayangkan—selama aku punya orang seperti Tama di sisiku.
Posting Komentar untuk "Sekamar dengan Tama"